Cantik Itu...
Picture taken from here
Cantik itu
adalah…
Entahlah,
tetiba saja gue kepikiran tentang apa itu cantik ketika gue berada di tengah
lautan wanita yang sedang asyik –baca:kesetanan- belanja di salah satu toko clothing items terkenal di Yogyakarta
yang ramainya minta didemo.
Saat itu gue
dan teman gue sih rencananya mau lihat-lihat saja, cuci mata. Tapi asal kalian tahu,
kalau cewek ngomong mau cuci mata itu artinya dia bakal muterin itu toko dari
satu sudut ke sudut lainnya lalu bosan lalu lompat ke toko sebelahnya lalu muter
lagi lalu merasa nggak puas lalu lompat lagi ke toko lainnya begitu terus sampe
nggak kerasa kakinya udah membesar dua nomor.
Saat gue sudah
mulai capek, gue berhenti sejenak dari kegiatan gue melototin baju dan mencoba ngerefresh mata gue dengan mengamati sekeliling. Di salah satu sudut ruangan yang
nggak jauh dari tempat gue berdiri, ada seorang embak-embak berumur 27/28 sedang
sibuk memilah-milah model jins yang dia suka. Gue mengamatinya rada lama,
setengah takjub dan setengah kasihan. Mbaknya ini memakai sepatu wedges yang tingginya kira-kira 9 cm
berwarna coklat muda. Gue membatin dalam hati, betapa tangguhnya embak ini bisa
jalan-jalan di tengah toko seluas ini dengan memakai sepatu setinggi dan semenyiksa
itu. Lalu gue mulai mengamati rada ke atas dikit, yang gue maksud kaki, iya
kaki, bukan yang lain. Jadi mbak ini mengenakan celana legging ketat berwarna senada
dengan sepatunya dan T-shirt putih kerah V yang ngepas banget di badan.
Gue membatin lagi dalam hati, gimana sesaknya memakai baju serba ketat begitu.
Kalau gue yang make, mungkin kemana-mana gue kudu nenteng tabung oksigen karena
kesulitan bernafas.
Sebelumnya di
saat berada di toko yang lain, gue juga sempat terdiam saat berpapasan dengan
seorang perempuan tipe udah-kawin-tetep-gahul yang umurnya mungkin antara
30-40an. Embak UKTG ini rambutnya panjang dan diwarna pirang, mungkin mbaknya
cukup pede memakai warna ini karena kulit mukanya yang putih dan cukup appropriate
berkat makeup tebal plus alis bergambar sempurna dan bibir dengan warna merah
menyala. Gue berpikir, mengestimasi, dan menerka-nerka berapa lama waktu yang
dibutuhin plus berapa banyak jenis kosmetik yang diperlukan untuk sampe pada
level visual yang sedemikian rupa –baca: menor-
Gue yang sangat cerdas ini kemudian menyadari bahwa gue menemukan satu kesamaan yang sangat jelas dari kedua jenis embak-embak
ini. Mereka sama-sama memiliki kepercayaan diri yang tinggi dengan penampilan yang
mereka tunjukkan karena dengan tampilan yang sedemikian rupa, mereka tanpa ragu merasa bahwa itu cantik.
Gue menjadi termenung,
“Jadi….ini
yang namanya cantik?”
Lalu gue
-yang disini ceritanya adalah manusia cerdas- mencoba mengkontemplasi ((KONTEMPLASI)) sebenernya apa itu definisi kata
cantik.
Cantik adalah
sebuah konsep yang nggak bisa dipisahkan dari persepsi manusia. Persepsi ini secara
tanpa sadar dipengaruhi oleh banyak faktor mulai dari kultur setempat,
perkembangan taraf idup, pengaruh budaya tempat/negara lain, dan lain
sebagainya. Pada intinya semua faktor ini akan saling bersenyawa dan
menghasilkan standar cantik itu sendiri.
Kalau di Jogja,
-cuma dari amatan sotoy gue loh ini tapi ya- kalau dari segi tampilan fisik, sejauh yang gue lihat, cantik itu
bakal nggak jauh-jauh dari kulit putih, perawakan tinggi, badan langsing, mata besar, bulu mata
lentik, alis bentuknya bagus dan sebagainya dan sebagainya yang kalo ditulis
disini jatuhnya bakal jadi standar minimal Miss Indonesia.
Untuk mengejar standar-standar ini, para wanita
tanpa ragu memacu dirinya dengan mendatangi salon-salon
kecantikan, membeli set makeup mahal, dan merekayasa bagian-bagian dari tubuh mereka yang dianggap masih 'kurang'.
Sementara apabila dilihat dari segi kemasan a.k.a fashion, predikat cantik banyak sekali dipengaruhi oleh kebudayaan luar yang terinfiltrasi melalui berbagai media. Contoh simpelnya? high heels dan hotpants. Kedua ikon fesyen ini pertama kali muncul di Eropa dan bagian lucunya adalah keduanya menjadi seterkenal sekarang karena adanya perubahan motiv pemakaian yang sangat-sangat berbeda dengan jaman awal penemuannya. Ya balik lagi ke persepsi, namanya juga manusia pasti bisa saja punya measurement tersendiri yang kadang kalau dipikir-pikir bisa berasakonyol lucu. Celakanya adalah, tidak semua jenis individu dalam masyarakat memiliki filter yang tepat terhadap budaya-budaya baru yang masuk sehinga tadaaaa...muncullah standar-standar cantik yang diwakili oleh fashion items yang sebenernya nggak cocok buat diterapin di negara kita seperti errr..hotpants.
Lalu inti dari omongan ngalur-ngidul gue ini adalah? well...basically masih banyak perempuan yang rela untuk 'berubah' menjadi bukan dirinya sendiri demi memenuhi sebuah ide abstrak bernama 'kecantikan'.
Sementara apabila dilihat dari segi kemasan a.k.a fashion, predikat cantik banyak sekali dipengaruhi oleh kebudayaan luar yang terinfiltrasi melalui berbagai media. Contoh simpelnya? high heels dan hotpants. Kedua ikon fesyen ini pertama kali muncul di Eropa dan bagian lucunya adalah keduanya menjadi seterkenal sekarang karena adanya perubahan motiv pemakaian yang sangat-sangat berbeda dengan jaman awal penemuannya. Ya balik lagi ke persepsi, namanya juga manusia pasti bisa saja punya measurement tersendiri yang kadang kalau dipikir-pikir bisa berasa
Lalu inti dari omongan ngalur-ngidul gue ini adalah? well...basically masih banyak perempuan yang rela untuk 'berubah' menjadi bukan dirinya sendiri demi memenuhi sebuah ide abstrak bernama 'kecantikan'.
Nggak peduli
seberapa menyiksanya cabut alis, atau waxes, atau facial, atau apapun itu semua dilakukan untuk
mendapatkan predikat cantik. Nggak peduli seberapa nggak nyamannya skinny
jeans, kaos ketat, sepatu hak tinggi, atau azab.hotpants.pas.lampu.merah.panas.terik.siang.bolong semua tetap dilakukan cuma biar bisa
dikata cantik dan meningkatkan percaya diri.
Iya, gue juga mengakui..siapa sih yang nggak mau jadi cantik, gue juga
mau kali. Cuman alangkah baiknya setiap individu bisa secara bijaksana
mengatur sendiri standar-standar cantik yang nggak sampai menyiksa dirinya
sendiri. I mean come on...
Sekali
lagi society secara nggak berguna menciptakan konsep absurd yang ujung2nya cuma
memberikan efek negatif bagi diri sendiri -baca: kesehatan fisik dan mental-
Society, Thanks for Nothing!
Gue inget
banget saat itu gue seketika melihat refleksi diri gue yang hina di cermin
panjang di dekat tempat gue duduk mengamati berbagai spesies wanita yang
lalu lalang. Gue cuma make blue jeans yang warnanya udah rada pudar,
kaos oblong putih, plus jaket denim biru muda dan sandal rubber setinggi 4-5 cm
pemberian ibu gue yang sumpah itu nyaman banget dipake. Gue bertanya dalam hati,
“Do I look
like a hobo?” yes I do.
“Do I care?” nope.
“Does this
so-called-hobo-outfit comfort me?” Hell yeah
it does.
Gue masih cukup beruntung karena lingkungan gue tidak (belum?) menuntut gue untuk menjadi 'cantik' dan gue masih bisa bergaya segelandangan apapun yang gue mau.
(hashtag: ThePerkOfBeingJombloYangJamTerbangnyaUdahTinggi)
P.S.: Kata Beyonce, Pretty hurts. yeah sure it does
(hashtag: ThePerkOfBeingJombloYangJamTerbangnyaUdahTinggi)
P.S.: Kata Beyonce, Pretty hurts. yeah sure it does
Komentar
Posting Komentar
Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D