Rumah Tangga Vs Mimpi
Saat ini umurku 21 tahun. Semester 8…punya rencana untuk lulus mei,
bekerja di bulan juni dan memulai dunia yang kurencanakan…keliling dunia,
menulis mimpi dengan bangga, dan suatu saat nanti diundang ke kick andy atau
sebangsanya untuk menceritakan seperti apa manisnya mengejar mimpi, dan betapa
uniknya dunia karena membuat kita merasa hampir gila dan menyerah tapi disaat
yang sama kegilaan itu menjadikan semua asa lebih kebal, seperti titanium.
I am bullet proof, nothing to lose..
Shoot me down, but I won’t fall…I am
titanium
Di sisi lain,
Seorang teman pernah berkata,
“kita ini perempuan, umur 28 belum nikah aja bakal diomongin oleh
orang2. Apalagi kamu, nggak pasang target umur mau nikah kapan. udah…nggak usah
bermimpi jauh2…membina keluarga dan jadi ibu rumah tangga nggak buruk juga kok
buat masa depan”
I am criticized
But all your bullets ricochet
You shoot me down, but I get up
Sejak jaman dahulu, sejak jaman R.A kartini, tuntutan emansipasi mulai
menunjukkan kekuatannya. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki didengungkan
dengan kian membahana. Memberi harapan baru…memberikan janji baru di tengah
kegelapan dan ketidak pastian masa depan perempuan kala itu.
Aku selalu suka dengan perjuangan emansipasi, perjuangan kesetaraan.
Gender, umur, kulit… semua memang layak diperlakukan secara setara,
Hanya saja, aku nggak sepenuhnya mendukung kesetaraan mutlak, karena
agamaku mengajarkan bahwa setiap laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan dan
perannya sendiri-sendiri.
Setara bukan berarti sama.
Di rumahku, aku anak pertama dan memiliki dua orang adik. Ibuku selalu
bilang, menjadi orang tua itu harus adil, nggak boleh ngebeda-bedain, tapi
bukan berarti disaat adikku yang paling kecil minta dibeliin boneka Barbie,..
aku dan adik cowok ku juga harus dibelikan benda yang sama…bukan juga harus
dibelikan benda yang setara dari segi harga agar kesetaraan itu tetap ada.
Karena apa? Karena pada saat itu aku dan adik cowoku emang nggak butuh apa-apa,
ngga minta apa-apa.
Kesetaraan harusnya se simpel pemikiran ibuku.
Begitu juga dengan masalah mengejar mimpi ini.
Nggak terelakkan bahwa wanita masih sering dikaitkan dengan urusan
rumah tangga…kalo kata ibu kost, takdir wanita itu ya “kasur, sumur, dapur”. Itulah
hakekat wanita diciptakan, untuk menopang rumah tangga dan membentuk keluarga
yang kuat. Karena individu yang bermartabat dengan pola pikir yang bijaksana
merupakan produk dari keberhasilan sebuah rumah tangga yang dibentuk.
Namun sangat disayangkan…
Rumah tangga yang baik selalu diilustrasikan dengan sebuah keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu anak-anak mereka, dengan peran mereka masing2. di
pagi hari… akan di tunjukkan scene
manis dimana mereka sarapan bersama, menikmati setiap hidangan yang dimasak
oleh ibu…lalu disusul scene selanjutnya,
ibu mengantar suami dan anak-anak2nya sampai di depan pintu, menyaksikan suami
berangkat bekerja dan anak berangkat sekolah. Selanjutnya?
Ibu akan berkutat dengan segala urusan rumah tangga, mencuci, menyapu,
membersihkan rumah, belanja, nonton sinetron di televisi, dan hal lainnya
sembari menunggu suami dan anak-anaknya pulang.
Ya…sembari sang suami melihat dunia luar dan mengejar mimpinya,
sembari menunggu anak-anak pulang dari mengejar membangun mimpi mereka.
Pertanyaannya, …apakah benar seperti itulah peran seorang wanita dalam
keluarga?
:)
Gambaran inilah yang saat ini mulai kabur. Atas nama kesetaraan,
wanita menuntun haknya untuk bekerja, membangun karir, keluar dari rumah dan
ikut menyaksikan jalannya dunia untuk menggapai mimpi mereka.
Lalu kenapa semua itu bisa terjadi?, bukankah gambaran di atas adalah
gambaran ideal?
Bolehkah aku menggambarkan keluarga yang menurutku lebih setara?
Membentuk sebuah keluarga yang kuat dalam bayanganku lebih didasarkan
pada kerjasama, bukan pada menempatkan setiap orang pada posisinya/perannya. Peran
yang kumaksud disini adalah,..Kalo istilah yang sering kudengar dari
resty…suami sebagai breadwinner dan
istri sebagai housemaker.
Bukankah prinsip dasar dua orang yang memutuskan untuk berhubungan dan
membentuk keluarga adalah komitmen untuk menjalani hidup bersama?, mengatasi
permasalahan bersama?, menangis dan bahagia bersama?
Lalu kenapa saat keluarga sudah terbentuk, rumah tangga berjalan
layaknya sebuah perusahaan?
Ibu sebagai pabrik pencetak produk sedangkan ayah sebagai investor/penanam
saham?
Emansipasi dibilang berhasil di saat seorang wanita memiliki hak untuk
bermimpi
Tapi di saat wanita itu berubah menjadi istri, berubah menjadi ibu..
emansipasi disalahkan karena kegagalan rumah tangga.
lalu kita harus melihat kembali fondasi yang menjadi dasar rumah
tangga yang dibentuk.
Menurutku, ya.., seorang anak ingusan berumur 21 tahun yang belum
pernah menjadi istri ataupun ibu tapi merasa bahwa menjadi anak selama 21 tahun
sudah cukup layak berpendapat mengatakan bahwa menjalankan peran masing-masing
bukanlah fondasi/dasar yang kuat sebuah keluarga dalam rumah tangga
Dan layaknya sebuah fondasi yang tidak kuat, disaat badai menerpa maka
kehancuran adalah suatu hal yang biasa.
Tapi bukan berarti menjalankan peran masing2 adalah suatu hal yang
tidak penting. Sekali lagi aku bilang bahwa itu bukan dasar…tapi itu adalah
pilar. Wanita memang memiliki tanggung jawab sebagai housemaker…tapi bukan
berarti laki2 lepas dan segala hal yang berkaitan dengan ‘menjalankan rumah
tangga’. Begitu pula dengan laki-laki sebagai pencari nafkah…wanita tetap harus
mensupport atau bahkan membantu disaat memang dibutuhkan.
Rumah tangga yang setara bagiku tak menutup kemungkinan sang suami
akan mencuci disaat sang istri sedang ada interview penting, atau sang istri
bekerja keras karena sang suami sedang berjuang melanjutkan sekolahnya.
so…come on
Kalian yang ada diluar sana
Silahkan mengkritik, silahkan bilang bahwa saya berpikiran picik
Tapi setiap orang boleh bermimpi, dan jangan pernah sekalipun
menjadikan alasan keluarga untuk membuat seorang wanita berhenti bermimpi atau
memaksa diri mengubur mimpinya.
Karena pada detik saat kita dilahirkan,
Saat kita menangis untuk pertama kali,
Tuhan memberi kesempatan pada kita untuk membentuk mimpi.
Siapapun, tak terkecuali.
Dan jika kalian berani membentuk sebuah keluarga,
Pastikan bahwa fondasi yang kalian buat sudahlah kuat, yang tidak akan
roboh ketika badai menerpa, yang akan tetap kokoh disaat peran-peran itu untuk
sementara kosong dan tidak dapat terisi
Karena dengan begitu, istilah emansipasi tidak perlu disalah gunakan
lagi.
"Ibu sebagai pabrik pencetak produk sedangkan ayah sebagai investor/penanam saham."
BalasHapussungguh perumpamaan yang bagus Je...kono, ndang golek investor...hahaa
yakali ndang golek investor,
BalasHapuspadakke golek investor koyo tuku tempe neng pasar -.-'
ndang kono mbok golekke wae beng wkwk
thanks for the comment anyway
:D
hahaa...
BalasHapusyo ojo dipadake tuku tempe lah, investor ki sing penting punya komitmen & bisa konsisten menyuplai sesuai kebutuhan produsen, kebutuhan lahir batin...wkkk
halaaah...entek"e kok malah kon golekke...ki lho, aku ki yo lagi golek 'produsen', tapi yo durung oleh"...hahaa
Yosh, silaturahim kuwi gak kudu ketemu langsung, ning bisa jg tongkrongan neng kene...