Tol? Conflict of Interest?
TOL…Yeah, idup sebagai seorang urban planner membuat kata TOL bukan
lagi kata yang asing di telinga maupun di kepala. Damn word actually! Entah kenapa, tapi setiap mendengar kata TOL,
satu hal yang terlintas di kepala bukanlah sesuatu yang begitu menjanjikan. It just feels like…mennn, itu tol!!!
well...dari paragraf pertama, udah
keliatan banget ya kalo aku nggak netral sama kata itu. Hehe,…FYI, seorang
planner selalu diajarkan untuk memenuhi kode etik entah itu kode etik dalam
mengemban tanggung jawab sebagai seorang perencana maupun kode etik dalam
rencana yang dibuat. Dan..TOL merupakan sesuatu yang, ehmmm... kalo nyari padanannya, tol buat urban planner mungkin lah bisa disamain dengan ahli nuklir yang harus bikin bom atom
lalu, why? why? aku repot2 ngobrolin tol?
Beberapa waktu yang lalu,
-udah lumayan lama sih sebenernya, tapi aku lupa detail waktunya kapan- seorang teman dari fakultas hukum meminta tolong padaku untuk membuatkannya
skenario proyek zoning jalan tol dalam kompetisi draft proyek yang dia ikuti.
Aku, yang notabenene nya sangat suka membantu, ramah, rajin menabung, rendah
hati, amat sangat tidak sombong, dan otaknya sedikit tidak atletis -sehingga
kalo dipake mikir rada lemot, belom mempertimbangkan kemungkinan yang bakal
terjadi tau2 mulut langsung mengeluarkan kata ‘oke’- yeah...aku langsung bilang 'oke, aku bikinin' (pake gaya sok cool pula, hinaaaa)
Di hari berikutnya, temanku itu
menjelaskan tugasku berikut dengan lokasi rinci pembuatan zoning jalan tol
tersebut. Karena waktunya terbatas, aku langsung membaca detil lokasi dan sejenak
berasa kesiram lem saat melihat skenario yang harus dirancang. Kompetisi yang
diikuti temanku ternyata merupakan kompetisi yang diadakan untuk mengambil alih
proyek nyata yang terhenti pelaksanaannya karena menuai kontroversi, dengan
kata lain…kompetisi ini REAL!!!, lalu dimana letak ‘berasa kesiram lem nya’?
Dalam salah satu informasi
mengenai proyek ini, terdapat satu draft dengan judul besar ‘PROYEK TOL TENGAH
KOTA SURABAYA’ mennn…ini dia bagian kesiram lemnya. Kata TOL dan Tengah kota
yang diletakkan dalam satu kalimat jelas bukan sesuatu yang bagus. Ditambah
kata REAL yang itu artinya nggak boleh ditangani seenak jidat sendiri…perfect!!
Makin penasaran, aku mencoba bikin
riset kecil-kecilan mengenai lokasi proyek tesebut. Dan hasilnya lebih bikin
serangan jantung, tol itu bener2 ada di tengah kota, I mean TENGAH kota, dan btw…di dekat jalur rencana tol yang ada
saat ini, terdapat setidaknya 2 buah rumah sakit besar dan taman kota. Mendadak
aku merasa terserang diare. Sambellll.
Sesaat, rasanya pengen bilang
ke temenku kalo aku nggak mau bantu lagi. Tapi…karena situasinya tidak
memungkinkan terkait deadline dan lagi
aku yang terlanjur sudah bilang ‘oke’, maka aku nggak bisa mundur lagi.
Dan meskipun kedengerannya
lebay, tapi dilema bener2 membuatku kram otak. Otakku kram!!! -kembali lagi kuingatkan bahwa otakku kurang atletis -.-' - Saking bimbangnya
melihat berbagai artikel penolakan pembangunan tol dari masyakarat dan terutama
penolakan dari diriku sendiri, semalaman suntuk aku nggak bisa tidur cuma untuk
mencari kemungkinan2 skenario yang akan aku buat.
Dan dari semedi yang panjang di
depan peta, aku membuat 3 alternatif scenario. Menamai ketiga skenario itu
dengan ‘skenario nggak lempeng’, ‘skenario gagal dengan brilian’ dan ‘skenario otak koprol’ Dari
ketiga skenario tersebut, aku harus menentukan pilihan mana yang aku ambil. Setiap
pilihan memiliki resiko masing2, bahkan pilihan yang paling ideal untuk planner
pun malah memiliki kemungkinan menang dengan presentasi paling kecil dan aku
bisa memastikan jika pilihan itu yang kuambil, maka temanku akan kalah dalam
kompetisi ini.
Lalu apa yang kulakukan?
Aku,… setelah dibilang gila
oleh salah satu temanku di jurusan karena mengatakan akan mengambil scenario
yang memang paling gila yaitu skenario nggak lempeng, tetep bersikukuh menjalankan skenario itu.
Skenario ini dinamai skenario nggak lempeng karena zonasi ini memang nggak lempeng karena zonasi tol ini cukup tidak baisa karena kubuat mengikuti DAS
(daerah aliran sungai) dan menggunakan sempadan sungai sebagai jalur tol yang
dilengkapi dengan jalur hijau dengan strategi pembatas an sempadan sungai yang
sekaligus membawa strategi ‘menghidupkan’ kawasan sempadan sebagai kawasan konservasi
yang bisa juga suatu saat nanti dikembangkan dengan konsep waterfront dengan
kesempatan ekonomi yang tinggi.
Dalam bahasa sederhananya…aku mengambil resiko dengan melakukan penyimpangan peraturan zonasi untuk suatu prospek yang belum cukup matang.
Lalu, tau apa hasilnya?
Skenario ini masuk ke final,
Ya, benar…skenario gila ini
masuk final
Saat mendengar kabar ini, aku
mendadak ketawa nggak ketulungan saking syoknya karena bener2 nggak tau metode
apa yang dipakai oleh para juri dalam menilai scenario gila tersebut.
Lalu, pelajaran apa yang
kudapet dari kejadian ini?
Uhm...praktek jauh lebih kejam
dibandingkan teori
Saat belajar di kelas, kita
bisa dengan mudah banget milih tindakan mana yang harus dilakukan dan membuat
scenario paling.ideal.sepanjang.masa.
Tapi…
Di dunia nyata, semua nggak
semudah itu
Di satu sisi, kita harus
melakukan pekerjaan yang diperintahkan, bagaimanapun dilematisnya itu karena
kita diposisikan sebagai pekerja yang membutuhkan bayaran. Sedangkan di sisi
lain, kode etik dan idealisme yang tertanam dan telah melekat di diri kita
menentang keras.
Itulah kenapa di kuliah engineering ethic yang kuikuti kemarin,
seorang pembicara menekankan bahwa kita sebaiknya menghindari pekerjaan yang
dapat berpotensi menimbulkan conflict of
interest.
Yakali idup bisa sepemilih itu,
-.-
Komentar
Posting Komentar
Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D