Belajar-Hidup-Mandiri
Beberapa
hari yang lalu, aku dapat kabar kalo salah satu orang tua dari teman sekelasku
meninggal. Yeah…berita duka yang kudengar untuk kesekian kalinya selama masa
kuliah. We are 22 now, that’s the phase
when we gonna face those kind of situation. Kalo menurut itung2an, kata
orang..umur 20an adalah umur yang wajar untuk kehilangan orang tua, secara
mereka juga turut menua sejalan dengan kita.
Well..sebenernya
aku masih nggak bisa nangkep maksud dari sebuah ungkapan yang mengkolaborasikan
kata ‘wajar’ dan ‘kehilangan orang tua’ dalam satu kalimat. I mean, come on dude!! Itu bapak ibu elu, meskipun secara logika
emang bener, tapi istilah wajar kok kayaknya adalah hasil pemilihan diksi yang
rada sambleng ya.
Ah
yasudalah. Let’s move on..
Setelah
mendengar kabar itu, aku jadi kepikiran orang tuaku sendiri. Mereka juga sudah
menua. Bahkan ibu juga fisiknya sudah nggak setangguh dulu lagi. Ibu sudah
sering sakit sekarang. Yaa..gimana nggak sering sakit kalau harus nyetir jam 3
pagi buta sendirian Boyolali-Semarang, tiap pagi!!! Padahal aku tahu banget kalo
ibu alergi dingin, sama kayak aku..jenis manusia yang nggak tahan dingin
padahal kami sudah puluhan tahun tinggal di tempat dingin. –aku nyebut ibu aku sebagai
superhero bukan tanpa alasan-
She uses all her strength so she’ll be strong
enough to be more than a mom for me, for my family. So…apakah jika ada sesuatu hal buruk terjadi, itu
akan terdengar ‘wajar’ saja di telinga aku? Rasanya tidak.
Beberapa
tahun lalu, pas aku semester 3 kalau nggak salah, ibu didiagnosis terkena
gejala stroke. Tapi untung kabar baiknya…selama setahun terakhir kondisi ibu
sudah membaik, beliau sudah jarang banget mengeluh sakit. Tapi, -iya,
tapi!-…akhir2 ini ibu mulai sering sakit lagi. Dan ironisnya aku tau pasti penyebabnya.
I knew it, like I always know.
Selama
ini, ibu adalah alasan nomor satu untukku agar bisa selalu bertahan. Namun yang
konyol adalah, aku adalah mata kaki achilles bagi ibu. Ibu adalah tipikal orang
yang nggak kuat nahan stress dan aku adalah titik lemahnya. Jika ada hal buruk
terjadi padaku, maka ibu akan langsung terguncang secara emosial dan akhir2nya
kena juga ke fisik.
Sejak
aku syok karena gagal dengan wawancara kerjaku yang terakhir, ibu jadi ikut
kepikiran. Lalu, karena sudah paham banget dengan situasi beginian, aku bilang aku
sih nyantai saja dan pasti bakal segera dapat tawaran yang lain. Setelah itu, aku
juga buru2 ngabur ke Jogja biar nggak bikin ibu kepikiran terus. Tapi nyatanya
sama saja. Bapak kapan itu ngabarin kalo ibu sakit. Kata bapak, ibu juga sering
ngelamun di rumah dan nggak jarang pas lagi makan, ibu cuma melototin
makanannya karena keinget aku. Iye, aku tau, ibu aku yang satu ini emang
dramatis sekali.
Pas
aku udah di Jogja ibu sering nelpon. Nanya aku udah makan belom, aku ngapain
aja kalo nganggur di kos, nanya ada temennya nggak. Yaah…tipikal emak2 panikan
emang selalu yang beginian kan?
Untuk
menjawab pertanyaan ibu, akan selalu terasa ngeganjel saat bilang ke ibu kalo aku
seharian cuma kelesotan di kos padahal ibu tau aku suka stress kalau kebosanan.
Tapi ya gimana lagi..maunya sih ngebohong aja gitu seperti bilang aku lagi
manjat tebing ato naek gunung ato renang di lautan pasifik biar kelihatannya
sibuk, tapi sayang.. aku payah dalam hal berbohong, apalagi di depan ibu.
Jadi,
untuk menghindari momen yang nggak nyaman itu, akhirnya aku mutusin buat nerima
tawaran temen untuk magang di pusatnya proyek dosen2 aku di kampus. Yeah, FYI
..aku beneran benci setengah mati harus nerima kerjaan ini. Aku pernah bilang..aku
nggak mau jadi seorang zooplankton lagi setelah lulus. Iya, zooplankton!!.
Seekor mikroorganisme yang sebenernya sangat berperan dalam rantai kehidupan
namun tidak dihargai secara layak.
Dan
sekarang…I’ve been working there for a while
dan rasanya kayak di neraka karena dedlen yang nggak manusiawi. Tapi intinya bukan
pada masalah yg aku adepin lah yaa…kita lihat saja dari positifnya, aku dapet kegiatan
dan bayaran di situ walopun nggak seberapa.
Pas
tanggal 1 kemaren, aku dapet gaji pertamaku dan hal pertama yang lewat di
kepala adalah aku.harus.nelpon.ibu.aku. Aku bilang ke ibu -dengan nada paling
kulll yang bisa aku samarkan- kalo mulai hari itu aku uda punya duwit sendiri
dan bilang bahwa bapak ibu uda nggak perlu ngirimin duwit bulanan lagi.
Motiv
utamaku jelas bukanlah untuk nyombong, tapi aku hanya berpikir bahwa ..jika ibu
mendengar kabar baik yang berganda –pertama aku nggak bakal mati kebosanan, dan
kedua aku sudah mandiri dalam hal keuangan- ibu nggak akan stress lagi. Setidaknya
ibu tahu bahwa anaknya disini sudah mulai punya kesibukan jadi nggak akan
ngelirik baygon cair atau colokan listrik.
Pas
aku nelpon ibu dan ngasih kabar itu, terasa banget kalo ibu yang tadinya jawab
dengan nada lemes jadi terdengar lebih girang. Syukurlah…meski nggak bisa
ngobrol banyak karena tetiba pulsa sudah abis aja, seenggaknya aku lega.
Aku
tahu bahwa aku akan selalu menjadi mata kaki Achilles ibuku dan nggak ada yang
bisa mengubah hal itu -kalo pake bahasa orator mah mungkin bisa tuh disebut
dengan istilah ‘harga mati’-. Oleh karena itu, dengan jalan ini semoga kadar toxic-ku dalam darah ibu konsentrasinya
nggak sepekat dulu lagi. Yeah..meskipun di sisi lain aku masih ngegoblok2in
diri sendiri karena ngambil keputusan yang cukup beresiko gini, tapi ya
sudahlah..dijalani saja, ada Gusti Allah ini yang selalu ngawasin.
Yep..I don’t wanna kill anyone, apalagi ibu sendiri. Mulai sekarang, hidup
mandiri adalah keputusan membanggakan yang harus dipegang teguh.
Haha..let’s see apakah aku akan bisa survive di dunia ini dengan caraku
sendiri –dunia itu keras mennn…tsahhh- dan jika sampe beberapa bulan ke depan aku
nggak nulis lagi di blog, itu bisa jadi pertanda kalo aku…
Komentar
Posting Komentar
Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D