Kenapa Lokalisasi Harus Ditutup
Inget
banget, dulu pas lagi nongkrong sama anak2 dan ngobrol dengan topik yang extremely random, bahasan tentang
lokalisasi ini muncul begitu saja.
-iya,
padahal label kegiatannya sih udah gahul banget ya..nongkrong. Namun tetep,
obrolannya masih dalam lingkup obrolan nerd.ya.nerd.aja.sampe.mati.
hahaha-
Ferdi
pernah bilang:
“Kalo nanti gw jadi walikota
Serang, gw bakal ngelegalin lokalisasi.”
Ucapnya, dengan penuh percaya diri.
“Kenapa
gue legalin? karena mau gimanapun juga itu dilarang, malah nanti akan
bermunculan spot2 illegal dan ujungnya malah tidak terpantau. Karena itulah, gw
bakal ngebikin satu spot khusus lokalisasi yang legal jadi kan kalo ada ibu2
nyari suaminya yang hidung belang, langsung tau mau ngamuk dimana, hahaha.”
Iye, gue tau apa yang ada di pikiran kalian. Ini anak emang sableng.
Cuman,
gue sendiri nggak bisa menyangkal argumen yang dia berikan. Kebanyakan anak PWK
pernah mendiskusikan hal ini. Tentang lokalisasi dan kebijakan terbaik yang
harusnya diambil kalau suatu saat nanti kami menjadi penyelenggara negara.
Semakin
gue perhatikan, beberapa temen gue mulai memiliki tendensi untuk menyimpulkan
bahwa menutup lokalisasi merupakan sebuah solusi yang hanya akan menghadirkan
banyak permasalahan baru. Oleh karena itu solusi menutup lokalisasi perlu
dipikirkan dua, tiga, empat atau lima kali sebelum bener2 direalisasikan.
Gue
hanya sekedar berpikir, dan belum mampu untuk menetapkan hati akan menempatkan
diri gue pada kubu yang mana. Dan begitulah..lama kelamaan topik ini terlupakan
juga, tertutupi oleh isu2 perkotaan lain yang setiap harinya berganti dan
semakin kompleks saja.
Namun,
hari ini isu tersebut muncul lagi saat gue nonton Mata Nadjwa episode Walikota Surabaya
Ibu Tri Rismaharini.
Dalam
salah satu pembahasannya, Nadjwa menanyakan pertimbangan sang ibu walikota
tentang keputusannya untuk menutup salah satu lokalisasi terbesar di Indonesia,
yaitu lokalisasi Dolly.
Orang
awam pun tau, menutup lokalisasi adalah suatu tindakan beresiko tinggi karena banyak
pihak –yang sebagian merupakan pihak kontra- yang ikut terlibat dan tentunya
secara langsung terkena dampaknya. –yaiyalah, mau bikin parkir bawah tanah di Malioboro
aja mafia nya udah bejibun, apalagi
lokalisasi #eh -
Gue
terperanga saat mendengar beliau mengakui bahwa sebenarnya memang berat sekali
mengambil keputusan tersebut. Bahkan, beliau telah ikhlas jika keputusannya
tersebut akan membuat nyawanya terancam atau bahkan berujung pada kematian.
Selain
itu, yang menarik dari cerita beliau adalah ketika beliau mengatakan bahwa pada
awalnya beliau juga menolak untuk menutup lokalisasi dengan alasan beliau belum
mampu untuk memberikan solusi yang sustain untuk para ‘korban’ yang merugi
nanti. see…ibu walikota aja
menganggap bahwa menutup lokalisasi bukanlah suatu solusi.
Namun,
keyakinan beliau ini akhirnya berubah karena pada suatu waktu, beliau akhirnya
melihat kondisi eksisting masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut.
Children trafficking adalah isu pertama yang membawa beliau pada
pertimbangan ini. Secara tidak langsung, beliau ingin menyatakan bahwa
lokalisasi membawa pengaruh yang sangat besar terhadap psikologis serta masa
depan anak-anak yang tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan tersebut. Saat
bercerita tentang temuannya ini, beliau sempat terdiam dalam tangis karena
tidak mampu secara gamblang menceritakan apa yang didapatkan beliau di
lapangan.
Deg.
Seketika
gue inget argumen2 yang temen2 gue lontarkan dan dari sekian banyak argument, tida
ada pertimbangan dari sudut pandang yang seperti itu.
Meskipun
hanya dari menebak, gue yang merasa sedikit tersadar dengan kondisi ini entah
kenapa mendadak merasa turut bertanggung jawab untuk menguraikan alasan dibalik
kebijakan yang ibu Risma ambil.
Gue
memang bukan psikolog, oleh karena itu dari titik ini pertama gue ingin membuat
kesepakatan dan batasan.
Disini
gue akan menulis cukup dari sudut pandang seorang pengamat ruang yang kebetulan
pernah tanpa sengaja belajar mengenai psikologis anak2 dan remaja. Skripsi gue
yang tujuan intinya adalah untuk menyelidiki hubungan antara anak-anak dan
remaja dengan ruang membuat gue sedikit banyak paham mengenai seberapa besar
pengaruh lingkungan terhadap perkembangan mereka.
dan
kedua, meskipun fenomena ini bukanlah pertimbangan utama dimana itu artinya ada
variabel lain yang mempengaruhi pengambilan kebijakan, gue tidak akan
menambahkan variabel2 ini -variabel di luar topik anak-anak, remaja dan
ruang/lingkungan sebagai pembentuk karakter mereka- ke dalam pembahasan,
oke
gue mulai.
Dalam
beberapa jurnal yang gue baca, dijelaskan bahwa usia anak2 merupakan usia
rentan karena anak2 diartikan sebagai pribadi yang masih bersih dan sangat peka
terhadap rangsangan yang berasal dari lingkungan. Kata kuncinya jelas, yaitu rangsangan
dan lingkungan.
Setelah
dilakukan pembandingan terhadap beberapa referensi, dalam studi pustaka gue
juga ditemukan bahwa usia remaja merupakan usia krusial dimana pada fase ini,
pemahaman dan pembangunan logika sudah mulai berjalan. Tahap ini merupakan
titik penentu dalam penguatan pikiran pada aspek kejiwaan mental yang nantinya
akan membentuk karakter/sikap dari individu tersebut.
Dalam
bahasa singkatnya, anak-anak dan remaja merupakan individu yang pembentukan
karakternya sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan di sekitarnya.
Apa yang mereka tangkap akan membentuk siapa
mereka kedepannya.
Temen2
gue banyak menghadapi keraguan karena biasanya pertimbangan mereka terfokus
pada ‘gue belum bisa memberi solusi untuk para PSK, germo atau siapapun pihak
yang akan merugi jika lokalisasi ditutup’. Fokus ini secara tidak sengaja
menutupi dampak buruk yang sebenernya jauh jauh lebih besar, yaitu kualitas
generasi baru yang terbentuk di lingkungan tersebut.
*itu
dia mennnn kenapa inisiatif kota layak anak dan remaja dibikinnn!!!!*
Gue
sendiri sebenernya merasa malu karena sebagai seorang yang dalam beberapa waktu
terus berkutat mempelajari hak anak-anak dan remaja, gue masih saja buta bahwa
kerugian terbesar ternyata ada pada mereka.
Menutup
lokalisasi bukan hanya semata2 menyangkut kepentingan konsumen, germo dan
mafia2nya. Bagaimana dengan anak-anak dan remaja yang harus lahir dan besar di
lingkungan semacam itu? Bagaimana nasib para gadis muda -yang bahkan baru SMP –
SMA- harus menerima resiko menjadi bagian dari lingkungan yang sudah sebegitu
terkontaminasi? Akan jadi seperti apa anak2 laki2 yang sedari SD sudah mengenal
jasa PSK cukup dengan uang saku yang hanya senilai seribu-dua ribu?
Plus..mari
coba kita pikirkan. PSK itu ada masa kadaluarsanya, lalu pernahkah kita berpikir
darimana pasokan PSK baru didatangkan sebagai pengganti? apakah itu adiknya?
apakah itu anaknya? apakah itu sepupu atau tetangganya? atau apakah malah nanti
akan merebak ke anak2 perempuan di desa tetangga?
bisa
jadi.
Komentar
Posting Komentar
Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D