Disconnect (2012)


Ah right, rasanya baru saja bangkit dari alam lain saking lamanya nggak nulis di site ini. Sedikit ngerasa bersalah juga kok kayaknya idup gue lagi dalam mode ‘kelewat.sok.penting’ sampe-sampe nulis aja nggak sempet hahaha. The truth is, yeahhh…im kind of busy lately but don’t worry I am still here, alive.
oke, let’s talk about disconnect then


Disconnect (2012) adalah salah satu dari sekian banyak film omnibus yang akhirnya berhasil ngebikin gue terjebak dalam emosi. Sehabis nonton film ini, terasa ada semacam pain yang nempel aja gitu di salah satu sudut dalam diri ini *jangan muntah, plis*
yeah, seems pretty serious huh? sampe bawa2 istilah dangdut semacam ‘sudut.dalam.diri’ segala.
Tapi memang begitulah adanya.
Disconnect berisi tiga cerita berbeda yang punya basic permasalahan serupa, yaitu side effect dari perkembangan teknologi. So yes, dalam film ini kalian akan melihat berbagai macam bentuk cyber crime. Kalau kalian kebetulan pernah nonton cyber bully (itu tuh yang ada Emily Osment nya) maka mungkin kalian akan lebih familier dengan salah satu konflik dalam cerita ini.
Semua orang tahu bahwa di internet, segala hal bisa terjadi. Hanya dengan satu gambar yang kita upload, kita bisa saja berakhir menjadi sasaran bully dan endingnya bunuh diri. Ups spoiler alert hahah, iya…ada yang mencoba bunuh diri dalam film ini gegara sebuah foto. Nama anak ini adalah Ben Boyd, seorang remaja SMP canggung yang pandai main musik namun tidak pintar dalam bersosialisasi. Ben digambarkan sebagai tipikal anak pendiam yang nggak punya banyak teman sehingga wajar kalau dia lebih 'terlihat' di dunia maya ketimbang berinteraksi langsung dengan orang di dunia nyata.
Ben berkenalan dengan seorang gadis bernama Jessica Rohny di sebuah jejaring sosial dan lama kelamaan keduanya menjadi akrab. Bagian sedihnya adalah Ben tidak tahu bahwa ternyata Jessica adalah akun palsu yang dibuat oleh teman sekolah yang ingin mengerjainya. Hingga pada suatu hari, Ben yang bener-bener clueless dan sudah terlanjur jatuh hati ini nekat mengirimkan foto privatnya ke Jessica dan ya...seperti yang bisa kalian tebak, gambar itu menyebar ke seluruh anak di sekolah dan akhirnya, Ben yang masih remaja dengan mental yang belum stabil ini tidak bisa berfikir panjang dan memutuskan untuk gantung diri.
Yet so far, cyber crime telah menjadi isu yang menarik untuk diangkat ke permukaan. Mungkin untuk beberapa tahun lalu, di saat jejaring social media belum setenar sekarang, jenis cerita semacam ini memang masih terasa asing di telinga. Namun melihat perkembangan dunia online yang begitu pesat, konflik-konflik yang dituturkan dalam film ini sudah terasa semakin relevan dan menjadi bagian dari kasus-kasus kriminal pada umumnya, bahkan untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia sekalipun. Seperti yang kita tahu, our beloved country ini sudah tidak asing lagi dengan yang namanya cyber crime dimana tiap waktu masih ada aja pemberitaan di tivi tentang remaja yang hilang atau diculik *or whatever it is* setelah janjian sama completely stranger di facebook.
Ok! kembali ke filmnya, lalu apa tepatnya yang ngebikin gue bilang ada pain dalam film ini?
Uhmmm, apa ya? ow mungkin karena dugaan gue yang meleset dan sesuatu yang nggak gue duga muncul sebagai major lesson dalam cerita ini.
Pada menit-menit awal film ini berjalan, penonton akan digiring pada kesimpulan bahwa cyber crime dapat berakhir dengan sangat fatal. Iya, cukup hanya dengan menonton setengah dari total durasi film yang ada, kesimpulan itu sudah terpampang lebar-lebar di depan mata. Lalu pertanyaannya adalah, what happened in the next half duration?
Ini dia yang menarik.
Film Disconnent ternyata tidak purely bertujuan ‘menonjok’ kita tepat di muka tentang penyalah-gunaan internet dan kerusakan yang ditimbulkannya. Melalui penyampaian cerita dan penempatan sudut pandang yang tepat, film ini lebih ingin menunjukkan bahwa cyber crime bukan hanya tentang jahat-jahatan di internet, melainkan mengenai segala kemungkinan yang menyebabkan beberapa orang memilih untuk melarikan diri dari kenyataan dan beralih ke dunia maya. It is not as simple as who is right or wrong anymore. Bisa saja dalam suatu kasus, tidak ada yang namanya korban dan pelaku, yang ada hanyalah someone is hurted dan someone who is hurted more.
Film Disconnect mampu membuat garis batas antara protagonis dan antagonis dalam cerita ini menjadi kabur, hilang atau bahkan terbolak-balik. Jadi jangan harap kalian akan mendapati satu peran yang bisa kalian sumpahin atau kalian umpat karena bahkan sang villain pun bisa menarik simpati lebih dari victimnya.
Banyak kelebihan yang membuat gue memutuskan untuk menyukai film ini. Talentnya? yeahright. Sutradaranya? hellyeah. Ceritanya? of course yes! soundtracknya? don’t even ask.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Where Do We Stand?

A message to the younger me