Oleh-Oleh
Gue baru saja
pulang dari urusan kerjaan di salah satu kabupaten kecil di Sumatera Selatan.
Ada banyak yang ingin gue tulis di sini hanya saja berhubung gue anaknya lagi
sibuk banget menjaga perdamaian dunia, makanya gue bahkan nggak sempet buat seenggaknya
membuka blog usang ini.
Iya, Gue juga
nggak tahu sejak kapan gue bisa jadi sedelusional ini *disiram kuah indomie
panas sama Bruce Wayne biar sadar* *dicekokin bon cabe level 15 sama Alfred*
Oh well…cukup
ya intronya, kembali ke cerita yang ingin gue bagi.
Kerjaan gue
kali ini ada di Kabupaten Musi Rawas Utara. Untuk mencapai kabupaten ini, dulu
gue harus naik pesawat ke Jakarta (1 jam) >> Bengkulu (1
jam) >> disambung dengan perjalanan darat Ke Kota
Lubuklinggau naik-bukit-belak-belok-dikejar-begal (ini beneran kejadian) selama
4 jam >> Barulah lanjut ke Kabupaten Musi Rawas Utara 1
jam.
Beruntungnya
untuk kunjungan gue kali kedua ini, sudah ada pesawat yang langsung menuju
Bandara Silampari yang ada di Lubuklinggau, jadi gue dan rekan-rekan gue bisa
menghemat waktu perjalanan hingga 4 jam. Hanya saja sebagai gantinya saat
mendarat gue harus kuat2 pegangan ke kursi dan baca ayat kursi berkali-kali
karena ternyata track pendaratan di
bandara ini anjir sumpah pendek gila. Waktu gue turun dari pesawat aja bahkan
aspal yang menghubungkan landasan dengan terminal masih keliatan baru banget
T.T
Ini bahkan gue
belum bicara tentang fisik terminalnya yang cuma satu bangunan kecil kayak SD
dan spot baggage claimnya yang membuat
gue nyengir lebar. Di sana semua barang diambil secara manual sehingga adegan
mirip orang rebutan barang diskon yang keji dan pertumpahan darah pun tidak
dapat dihindari –I am delusional, just
accept it LOL-
Setelah pertarungan
sengit rebutan ngambil koper mode buru-buru karena dikejar jadwal meeting, gue hanya bisa menyeka peluh
gue yang bercucuran dan akhirnya menyadari bahwa perjuangan para pahlawan
dahulu kala tidaklah mudah. (Jadi ceritanya, hari itu juga kami ada jadwal meeting dengan klien –nyebutnya klien
aja ya biar lebih kece- dan berhubung pesawat kami delayed cukup lama maka kami harus langsung menuju ke tempat meeting)
Kabupaten Musi
Rawas Utara adalah kabupaten baru yang bahkan saking barunya sampai belum punya hotel.
Itulah sebabnya kami harus menginap di Kota Lubuklinggau. Hanya ada satu jalur
yang menghubungkan kedua wilayah ini, itupun perjalanan untuk menempuh
kabupaten ini isinya cuma deretan hutan, kebun sawit dan kebun
karet. Selain itu, jalan yang hanya satu-satunya
itu terhitung cukup lengang karena cuma dilalui oleh kendaraan roda empat atau
lebih mengingat jalur ini merupakan jalur rawan pembegalan dan tindak
kriminalitas lainnya.
Gue yang kecapekan,
lemah, sudah compang-camping dan tentunya sangat-tidak-cool-tapi-sebodo-amat langsung bersiap tidur untuk menyimpan sisa
energi gue buat meeting. Sayangnya
perjalanan kami nggak semulus yang gue kira. Baru beberapa menit ketiduran, gue
hampir saja ngejedotin kepala gue ke pintu mobil ketika supir kami, Bli Made,
mengerem mendadak.
“Hehe, maaf…ada kera lewat.” iya, kera. Bli Made dulu memang sering cerita
bahwa banyak kera yang masih suka berkeliaran mengingat kawasan di sekitar kami
adalah hutan. Gue mencoba tidur lagi sampai beberapa saat kemudian Bli Made
lagi-lagi mengerem mendadak.
“Hehe…maaf, ada kerbau lewat.” Iya, kebo.
Di sana juga banyak kerbau yang dibiarkan berkeliaran di jalan oleh pemiliknya.
Bahkan Bli Made pernah cerita, dulu pernah ada penerbangan yang ditunda karena
ada kerbau di landasan take off. Gue
mau ketawa-ketawa nangis waktu mendengar ceritanya.
Setelah
berkali-kali pengen memaki geng satwa jalanan yang terus ngebikin gue nggak
bisa tidur, akhirnya kami sampai juga. Saat kami turun dari mobil, semua orang
dari pemerintah daerah sudah menunggu kami sambil masing-masing sibuk mengipasi
diri sendiri memakai kertas. Gue membatin dalam hati, kenapa kipas anginnya
nggak dihidupin sambil nunggu kami? lalu pertanyaan gue terjawab ketika seluruh
kipas angin yang ada baru dinyalain saat rapat dimulai dan segera dimatiin ketika
rapat selesai. Dan kalau gue nggak salah hitung, selama rapat berlangsung
listrik sudah padam sampai 3 kali. Ternyata di sana susah listrik. Saat dikasih
tau Kepala Bappeda kalau listrik di sana memang sangat terbatas, gue seriusan
mau nangis.
Agenda rapat
kami waktu itu adalah membahas arah kebijakan yang akan diambil oleh pemda
untuk membangun Kabupaten Musi Rawas Utara 10 tahun ke depan. Saat rapat
selesai, semua kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) antusias untuk
memberikan saran. Salah satu permasalahan terberat kabupaten ini sesuai dengan
diskusi kami adalah tentang kasus narkoba yang sudah sangat parah. Yang
menyentuh adalah, orang-orang di rapat ini dengan sungguh-sungguh menohon
bantuan kami untuk merumuskan kebijakan agar permasalahan ini dapat teratasi.
Saat gue ditugasi untuk menangani kabupaten/kota yang tergolong maju, gue nggak
pernah menemui pihak-pihak pemerintahan yang segininya sampai menggunakan kata
‘minta tolong’ secara literal. They
sounded so genuine I couldn’t help but mimbik-mimbik dalam hati.
Untuk
menguatkan berbagai informasi mengenai narkoba, tim gue di hari selanjutnya
pergi ke lembaga permasyarakatan narkotiba, badan narkotika kabupaten, dan
polisi resor. Gue waktu itu dapet jatah untuk pergi ke Lapas narkotika yang ada
di Lubuklinggau. Seumur-umur gue belum pernah yang namanya masuk ke lapas jadi
wajar-wajar aja gue sedikit terperanjat melihat secara langsung sel yang
berjejer dan harus menerima fakta dengan tabah waktu gue diliatin oleh
napi-napi di sana yang sedang istirahat siang. Mungkin muka gue
mengisyarakatkan ‘tunggulah kawan-kawan, gue bakal join dengan perkumpulan
kalian’.
Jujur, gue
dulu pas masih muda (((MASIH MUDA))) nggak pernah ngebayangin bakal punya
kerjaan yang membuat gue harus pergi ke daerah-daerah terpencil yang bahkan
untuk mengaksesnya aja gue ada kemungkinan kena amnesia saking lama dan
sulitnya. Gue juga nggak pernah ngebayangin gue harus mondar-mandir mendatangi
lapas, atau badan narkotika, atau polres.
Namun, to be fair..apa yang gue alami saat itu,
baik dari perjalanan maupun dari tempat2 yang dikunjungi belumlah seberapa bila
dibandingin dengan temen-temen gue yang bahkan pernah dikirim sampai
kabupaten-kabupaten kecil di Papua –baca: Resti-
The point is,
mungkin memang benar pekerjaan kami tidak lumrah seperti pekerjaan orang
kebanyakan tapi somehow gue merasa
bahagia. terlepas dari banyaknya kesusahan/duka yang ada, gue diberi kesempatan
untuk mempelajari banyak hal dan berada dalam banyak sekali situasi. Dan yang
paling utama, kami diberi kesempatan untuk membantu orang lain.
Ada yang
bilang, kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang. Lalu gue menjawab, “uang
membuat kebahagiaan lebih dekat” lalu dia terdiam.
Tapi
berkeringat, kepanasan, duduk di bawah kipas angin mati, mendengarkan orang
lain berjam-jam ngomong dengan logat kental tak terdefinisi, kejedot pintu
mobil berkali-kali, pun ternyata bisa membuat gue bahagia.
Well…here is my oleh-oleh dari Tanah Sumatera.
a pretty long story, huh?
LOL, thanks for your endurance.
Komentar
Posting Komentar
Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D