Mereka
Being an adult sure is exhausting, I believe
nobody will deny it. Memasang
alarm, bangun di waktu yang sama, mandi, bekerja, living a routine, struggling with problems, facing obstacle, everyday, and
no, no there is no holiday.
Sebagai wanita
24 tahun yang belum terbiasa dengan dunia ajaib ini, ada hari-hari dimana gue
ingin bersembunyi di balik selimut dan berlibur dari peran gue sebagai orang
dewasa. Dan hari ini adalah satu dari sekian banyak hari itu. Hari dimana ada
satu masalah yang menurut gue besar dan mengerikan dan sulit dihadapi dan ah
sudahlah hingga gue memutuskan untuk mengambil istirahat sejenak menjadi
seorang dewasa.
Sejak hari
Jumat kemaren gue sakit, dan yang gue maksud di sini bukan sekedar sakit fisik
tapi juga semacam sakit kepala sebagai efek kelamaan berperan sebagai manusia
dewasa yang harus menghadapi masalah2nya. Selanjutnya entah kerasukan jiwa
malas dari mana tiba2 pas bagun tidur tadi gue mendapatkan ide brilian untuk
tidak masuk kantor dengan menggunakan alasan sakit fisik gue –yang sebenernya
sudah sembuh- untuk tidak masuk kantor.
Ya, gue orang
macam itu.
Orang yang
tiba2 bisa nggak nongol di kantor hanya karena merasa “I don’t feel like I want to go to the office today” atau “ah crap, I can’t face my problem I better
lying in my bed doing nothing but exaggerate my sadness.”
Cukup dengan
satu pesan singkat “maaf ijin ga ke kantor ya, saya sedang nggak enak badan.”
ke atasan dan voila…gue mager semager-magernya di kosan dan nggak melakukan
sesuatu yang produktif.
Mungkin
tiduran di kasur seharian tanpa mikir tanggung jawab terdengar sangat
menyenangkan. Tentu saja menyenangkan, tapi di saat yang sama juga terasa
menyedihkan. Lo pengen ngobrol dengan teman untuk bisa melupakan masalah lo
tapi eh temen lo juga lagi pada kerja, menjalani hidup mereka dan dengan berani
menghadapi masalah2 mereka. Lo ingin merenungi masalah lo tapi ternyata kadang
lo sendiri terlalu lelah karena hanya akan berujung pada rasa sedih yang sama.
Ya, gue
sedepresif dan setidak-becus itu untuk menjadi orang dewasa.
Gue hanya
memandang layar leptop gue, cukup lama. Mencoba menyelesaikan pekerjaan yang
gue tinggalkan tapi tetap saja kepala rasanya nggak terima diajak bekerja.
Hingga tiba2 mereka datang.
Terdengar sapaan
dari suara yang nggak asing dari depan kos.
Pukul lima. Gue
keluar kamar dan beberapa saat setelahnya mereka
sudah ada di sana. Menenteng2 makanan dengan senyum konyol dan ejekan yang
sudah menggantung di bibir, masih dengan tas kerja mereka.
“Kamu sakit
apa? sakit jiwa?” Mereka menyodorkan bungkusan
buah dan duduk di ruang tamu tanpa perlu dipersilakan.
“Ayaaaa, kowe ki loro opo? loro pikir?”
Satu kemasan besar jus dan roti turut mendarat di meja.
Gue saat itu
bahkan enggan menangisi masalah ‘besar’ gue tapi somehow ketika melihat mereka
yang sudah pada hafal dengan tabiat gue pamit.sakit.buat.ngilang tapi tetap
menyempatkan diri untuk menjenguk orang sakit jiwa ini, air mata gue keluar
tanpa disuruh.
“Nangisss,
gitu aja nangis. Kan…dia ki ora loro!” Gue hanya bisa nyengir lebar.
Membenarkan bahwa nggak ada yang salah dengan kesehatan fisik gue.
“Cen seng loro
ki otak dia ya, Brain-Ache, dasar.” Celetuk yang lainnya.
Setelah puas
menghakimi tentang betapa sehatnya gue, menceritakan kejadian2 di kantor selama
gue ga ada, mengumpati kerjaan2 kami yang udah kayak benang kusut tanpa ujung,
menertawakan hal-hal absurd, mereka
menemani gue makan malam.
Mereka bahkan
tidak menanyakan masalah yang gue hadapi –well yeah tentu aja mereka sudah tau-
Mereka hanya
duduk di sana, berjaga2 karena gue yang mungkin memang terlihat sebentar lagi
sudah siap memanjat tower gedung Telkom dekat kosan.
Mungkin akan
terdengar sangat bodoh kalo gue bilang gue luar biasa bahagia hanya karena mereka
datang untuk memastikan bahwa gue belum gila.
Tapi sungguh,
gue luar biasa bahagia punya mereka.
afterall, mereka adalah salah alasan gue untuk
tidak gila sepenuhnya
Komentar
Posting Komentar
Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D