Semisal Saya Adalah Taylor Swift
Berawal
dari percakapan normal dengan seorang teman yang sejatinya suka sekali membaca
ramalan/zodiak, didapatkan kesimpulan bahwa saya sebagai seorang GEMINI memiliki kecenderungan untuk mengingat-ingat masa lalu. Yep, walopun saya nggak
percaya sama yang begituan, pada faktanya memang benar saya adalah tipikal
orang yang susah move on dari
kesalahan-kesalahan yang kalo ditelusuri lebih lanjut memang sebenernya sudah
layak untuk digolongkan sebagai masa lalu.
Misalnya saja posts terdahulu di dalam blog ini, atau bahkan post ini.
post yang sudah nangkring di layoutnya dan sudah bisa diakses oleh semua orang di luar sana
Kadang
posts ini berisi hal-hal ganjil yang
kalo dibaca lagi terkesan nista banget dan nggak jarang saya merasa jijik
sendiri karena kok bisa2nya nulis sealay itu. Sungguh.
Contoh lain adalah riwayat di facebook.
Ada nggak yang pernah kepoin dirinya sendiri di pesbuk mulai dari jaman2 awal
punya pesbuk?
Kalo saya, sudah jangan tanya.
Ada kalanya saya mau ngelempar leptop
dari jendela, ganti nama jadi Isabella atau Esperanza, masukin barang ke koper dan
segera terbang ke Venezuela saking nggak kuat nahan rasa nista karena alaynya
saya di jaman Jahiliyah itu.
Saya sampai saat ini masih sering bertanya2 kenapa gampang
sekali merefleksikan kebodohan saya melalui posts
yang blak-blakan. Walopun ada teman yang bilang bahwa dia bangga bisa se
blak-blakan itu, karena itu nunjukin dia yang sebenarnya, tapi tetap saja..saya
bukan dia. Ada kalanya saya merasa bahwa blog saya adalah senjata paling ampuh
untuk menjatuhkan diri saya di dunia nyata, tapi disaat otak saya sedang tidak
dalam keadaan cukup waras, posting
adalah salah satu bentuk hobi dan akan ada kelegaan tersendiri setelah berhasil
menulis untuk menyederhanakan segala ‘keruwetan’ yang ada di kepala. keruwetan
yang akan sangat membingungkan bila tetap disimpan disana.
Well..entah kenapa akhir-akhir ini saya banyak berfikir
tentang hal ini. Tentang seseorang yang secara tidak sengaja mendeskripsikan
kelemahannya secara gamblang di tengah-tengah publik dan memudahkan orang lain
untuk menilai karakteristik yang dia miliki. Ya, untuk mengidentifikasi
kelemahan dan juga ‘sisi gelap’ yang dia miliki. Tapi anehnya, meskipun saya
memiliki kesempatan untuk menghapus semua jejak kenistaan itu dengan cara yang
relatif mudah –cukup delete post ato
kalo perlu tutup akun-, saya tidak pernah merasa bahwa menghapus post adalah langkah yang benar2 saya
inginkan.
Hehe, sebenernya bohong sih jika saya
bilang ‘entah kenapa’ karena sesungguhnya ada satu kejadian yang memicu saya untuk
berfikir kearah sana. Kejadian disaat saya bengong di depan file revisi sambil mendengarkan playlist yang saat itu sedang memutar
lagu Adele yang berjudul make you feel my
love.
Lagu
Adele ini menceritakan mengenai kisah nyata tentang cintanya yang kandas, dan
begitulah..sebuah kisah mengalir dalam lagu yang sempat menjadi trending music dunia. Latar belakang kepopuleran
Adele ini secara otomatis mengingatkan saya dengan Taylor Swift yang lebih
dahulu terkenal dengan cerita cintanya yang juga disulap mejadi lirik-lirik
lagu.
Yeah,
semisal Taylor Swift
Jika kita cermati, meskipun bukan
melalui posting di blog, Taylor swift
masih tergolong ke dalam kelompok orang yang saya bahas sebelumnya. Orang yang
suka blak-blak an dalam mendeskripsikan apa yang ada di kepalanya.
Lagu-lagu yang dia ciptakan kebanyakan
berdasarkan pada kisah percintaannya, dan
mengingat betapa panjang daftar mantan pacar yang dia miliki dan seberapa
gampangnya dia terserang patah hati, Taylor swift terhitung sebagai musisi yang
sangat ‘produktif’ dalam menciptakan curahan hati karya seni berupa lagu-lagu
percintaan yang secara tidak mencengangkan, menjadi favorit remaja di mana saja.
dan ya..terlepas dari fakta bahwa dia
menjadi sangat bully-able dengan
karya2nya, tidak dapat dipungkiri bahwa curahan hatinya ini telah membawanya
kepada ketenaran. Setiap video klip yang diupload
di youtube saja pasti ditonton oleh lebih dari 10 juta viewer –saya sebut sebagai viewer
karena bisa saja yang nonton bukan hanya dari spesies manusia-
dia menjadi terkenal karena menjadi
dirinya sendiri, lengkap dengan segala kekurangan dan sisi gelap yang dia
miliki.
Dari sini, saya mencoba meninjau
kembali mengenai serangan rasa hina yang muncul setiap kali saya menoleh dan
mendapati diri saya telah membuat kesalahan di masa lalu yang terdeskripsikan
melalui berbagai media, entah itu foto, tulisan, post maupun sekedar status di pesbuk.
Untuk menghilangkan rasa hina itu,
nggak mungkin juga kan dengan tidak masuk akal saya beneran lempar leptop dari
jendela, ganti nama, kemasi barang dan kabur ke Afrika?
Untuk menghapus semua post aja, rasanya
berat karena tentu saja diri ini mengakui senista apapun tulisan yang pernah
saya buat, tetap ada diri saya di dalamnya, ada pemikiran saya, ada kenangan
saya, ada kebodohan saya yang jika saya lihat di kemudian hari akan menjadikan
saya ingat agar tidak mengulang kebodohan yang sama.
Lalu bagaimana menyingkirkan perasaan
nista itu? akhirnya saya memisalkan diri saya sebagai Taylor Swift untuk nemu
jawabannya.
Bakat Taylor swift dalam
mentransformasikan isi otak ke dalam sebuah media yang disukai sebagian besar
manusia di dunia –baca: musik- memberikannya dua buah credit yang berbeda. credit positif
sebagai musisi dengan karya yang mendunia, dan credit negatif sebagai bahan bully
yang tarafnya juga sudah mendunia.
Tapi faktanya adalah, meski ada puluhan
atau bahkan ratusan ribu orang yang membully
dirinya, Taylor Swift masih tetap bersinar dengan karya-karyanya dan menjadi
favorit jutaan penggemarnya.
Dari sini saya menyadari bahwa ini
bukan tentang bagaimana menghapus kehinaan masa lalu, menutupi kekurangan diri
sendiri.
Benar kata teman saya, jadilah dirimu
yang sebenar-benarnya dirimu. Yang menjadi masalah bukanlah bagaimana orang
lain melihat anda setelah anda menunjukkan segala kenistaan yang ada dalam diri
anda. Yang menjadi masalah adalah, dapatkah anda memaafkan diri anda sendiri
karena kesalahan yang anda lakukan di masa lalu dan mulai menerima bahwa memang
itulah anda, begitulah anda. Bagaimana anda menerima ketakutan terhadap diri
sendiri, terhadap ‘monster’ di dalam diri anda. Setidaknya jejak masa lalu itu
dapat membantu anda belajar, dan menunjukkan bagaimana anda melewati hari-hari
anda pada titik itu, titik di masa lalu, hingga sampai pada titik sekarang ini.
Kekurangan dan keburukan bukanlah suatu
bencana besar.
(rasanya kok seperti Mario Teguh gini
ya -.-‘)
Semisal saya adalah Taylor Swift yang
dapat memoles apa-apa yang saya pikirkan atau saya rasakan menjadi sebuah karya
yang menarik perhatian jutaan orang, bukan hal yang tidak mungkin bahwa isi
blog ini sudah dibukukan seperti kambing jantannya Raditya Dika.
Tidak semua orang menyukai Raditya
dika, sama halnya dengan Taylor Swift, tapi bukanlah itu intinya.
Intinya adalah Raditya Dika bangga
dengan otak gila yang dimilikinya dan Taylor Swift masih tetap berada di puncak
ketenaran dengan segala kekurangan yang ada pada dirinya.
Absurd?, ya saya tahu. Satu lagi posting absurd dari saya.
Tapi setidaknya saya mendapatkan
jawabannya. Jawaban mengenai untung-rugi menerima diri sendiri
Mari kita menerima diri kita di masa
lalu, diri kita saat ini, lengkap dengan kenistaan yang dimiliki.
Komentar
Posting Komentar
Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D