My little brother and The path he chose
Kadang,
Suatu subyek yang tadinya ‘nothing’ dapat berubah menjadi ‘something’ jika kau dikondisikan untuk mengamati subyek
tersebut dalam jangka waktu tertentu dan didukung dengan memori yang punya
kemiripan dengan subyek itu.
Hari ini,
Ketika aku berada di dalam sebuah
bus trans jogja yang terhenti oleh lampu merah dengan durasi 60 detik,
Aku ngeliat anak-anak itu
Well..lebih tepatnya sih remaja. 3
anak remaja. Remaja biasa, bukan remaja jadi2an. Remaja yang mengenakan celana
pramuka dan atasan kaos berlumur oli karena sedang berusaha memperbaiki mobil
di sebuah bengkel di sebrang jalan.
Di mataku, mereka cuma anak-anak,
seperti adikku, yang selalu kuanggap masih anak-anak.
Dalam 60 detik itu, mobil yang
mereka perbaiki tidak secara ajaib kembali ke kondisi semula. Dan yang ada
hanyalah 3 anak PKL yang tampak kebingungan dan kotor. Yep, 3 anak kecil yang
sedang belajar cara mendapatkan uang.
Mereka bahkan belum nyampe 17 tahun
–menurutku sih- tapi udah harus beradaptasi untuk tetep idup dan sepakat dengan
kenyataan bahwa mereka sudah harus tahu bagaimana cara seorang manusia dewasa
bekerja.
Aku tau ini bukan urusanku. Apaan
coba, nggak normal banget mendadak dramatis cuma karena ngeliat anak STM lagi
ngotak-atik mesin padahal sebenernya kalau di nalar itu adalah pemandangan
paling biasa di dunia.
Tapi, emang dasar aku nggak
senormal itu haha..
mendadak aja aku ngebayangin adikku
adalah salah satu dari ketiga remaja itu. Yep..adikku yang masih anak-anak yang
memutuskan untuk sekolah di STM karena ngerasa otaknya nggak nyampe, yep..anak
kecil yang bilang ke ibuku nggak mau kuliah karena cuma akan ngabisin duwit.
Aku inget banget apa yang dia bilang waktu itu pada ibu,
“ah, kuliah ngabisin duwit, aku
juga paling bakal lama lulusnya, jadi nyari duwitnya juga lama. Daripada
nyusahin ibu sama bapak mending aku STM aja, 3 tahun langsung kerja”
Anak kecil itu, anak yang baru aja
keluar dari SMP, bilang begitu ke ibuku. Antara pengen kutoyor, kumaki, dan
kujepit di engsel pintu. Tapi yang kulakukan cuma diem. Tertohok sebenernya.
Anak kecil itu otaknya dimana?
Kami bukanlah jenis sodara ideal
seperti yang diilustrasikan di tipi2. Bukan sodara yang kemana2 selalu berdua
dan rukunnya sudah sampai taraf nggak ketulungan. Bahkan kalo boleh
digambarkan, hubungan kami adalah hubungan dimana nggak saling sms 1 bulan karena
nggak ada yang perlu dibicarain adalah hal biasa.
Yeah…you can imagine the distance right? Kalo
dikonversi ke satuan panjang…jarak hubungan kami mungkin ada kali sampe 1000
mil.
tapi bukan berarti kami tidak
peduli satu sama lain.
We just don’t do those thing.
Well, struktur di keluarga kami
memang sedikit ‘berbeda’. Orang tua yang sibuk nyari duwit buat kelangsungan
hidup menjadikan aku, si anak tertua merangkap sebagai orang tua untuk kedua
adikku. Yep, aku akan berperan sebagai orang tua ketika pengambilan raport.
ketika memilih sekolah. ketika dia pengen sesuatu tapi nggak berani bilang ke
bapak ibu.
Orang tua yang punya kewajiban
untuk marah karena dia sampai patah tulang 3 kali dalam 6 bulan hanya karena
nekat main futsal. Orang tua yang harus khawatir ketika dia mulai pake kalung
karena ngikutin gaya norak temen2 di STM nya. Orang tua yang harus cemas
kalau-kalau dia terlibat pergaulan yang keliru. Orang tua yang harus memberi
nasehat ini-itu.
Dan sekarang,.. orang tua yang
harus ikut pusing karena di suatu malam, mendadak dia menelpon dan bilang kalau
ngerasa nggak cocok dengan sekolahnya dan pengen pindah. Dia bertanya ‘aku
harus bagaimana’ dan ‘gimana bilang ke bapak sama ibu’
Lalu aku bertanya pada diri
sendiri, aku harus bagaimana.
Tapi ajaibnya, dia memiliki
berbagai opsi solusi sendiri. Dia menawarkan beberapa skenario dan memintaku
untuk berkomentar. Akhirnya aku menyetujui satu skenario, kami berdua memutuskan
untuk merahasiakan rencana pindah sekolah ini dari bapak ibu sampai akhir
semester, sementara dia menabung untuk uang masuk di sekolah yang baru agar
bapak-ibu tau kalo dia sungguh2.
My little brother has grown up.
Dia punya pemikiran sendiri dan
mulai mengambil keputusan dengan hasil pemikirannya.
Dan sekarang, meskipun aku masih
khawatir dengan masa depannya yang memilih untuk mengambil ‘jalur STM’, aku
nggak sekhawatir dulu lagi.
Pilihan idup ‘jalur STM’ mungkin
memang memiliki label luar berupa prospek kerja dengan awal level yang rendah,
kesempatan berkarir yang lebih terbatas serta status sosial yang kurang
melegakan. Namun, nggak semua orang yang memilih path ini akan berakhir dengan hasil yang sama kan?
Label dari sebuah jalur bukanlah representasi
dari segalanya. Begitu pula dengan jalur itu sendiri. Path is just a path. Jalur tetap hanya sebuah jalur. Bukan sebuah gambaran
yang mengcover keseluruhan masa depan kita nanti. Bukan juga selubung yang akan memberikan
batasan tentang seperti apa kehidupan yang akan dijalani kelak. Semua hasilnya
tetap akan tergantung pada subyek yang menempuh jalur tersebut.
Ah, rasanya malu juga underestimate sama masa depan anak STM.
Cuma karena saat ini anak-anak itu kebingungan, bukan berarti selamanya mereka
akan kebingungan. Mungkin suatu saat nanti , ketika aku berhenti di lampu merah
yang sama, mereka sudah mahir dalam meperbaiki mobil. Sudah terbiasa dengan
kegiatan ‘bekerja’ untuk survive dalam idup.
aku telah salah mengartikan bahwa
sebuah jalur idup dapat dilihat titik akhirnya hanya dengan melihat label luar
jalur tersebut yang terdiri dari nama dan identitas.
Begitu juga dengan adikku.
Dia bukan lagi anak kecil yang
menurut pada apa kata orang lain tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu.
Biarlah dia belajar bagaimana
rasanya keliru mengambil keputusan sehingga dapat memutuskan langkah yang lebih
bijak berdasarkan pada pelajaran yang dia dapatkan.
He already chose his path. I don’t know the reason behind that decision,
but I’ll make sure he has chosen the right one. :p
I am the second parent anyway, I am the invisible hand.
I still am
Komentar
Posting Komentar
Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D