Ketika Kamu Berjalan Kaki
Gue adalah orang yang sangat suka berjalan kaki. Track berjalan kaki kesanyangan gue
adalah dari kos an ke swalayan Maga di Jalan DI Padjaitan dengan jarak sekitar
500meter. Jalan DI Pandjaitan adalah salah satu jalan dengan fisik paling oke
di Jogjakarta karena itulah jalan ini jadi favorit gue dan temen kos gue. Pepohonan Asem yang
Rindang berjajar rapi dan mampu meneduhi jalan secara keseluruhan. Terdapat
jalur pedestrian selebar kurang lebih 2 meter dengan material berupa paving
block dengan kondisi rata2 baik. Banyak kafe dan pedagang kaki lima yang
memulai kegiatan ketika sore mulai terasa. Lampu2 indah kafe dan beberapa
desain bangunan yang unik menjadikan kawasan sepanjang jalan ini menyimpan sense of place yang menyenangkan.
Dengan headset yang menempel di telinga, gue
berjalan sambil mengamati orang2. Kadang ketika ditanya orang mau beli apa di
Maga, gue suka kebingungan dan menjawab sekenanya. Beli snack kek, beli vitamin
water kek atau apapun itu asal bisa jadi alasan gue untuk berjalan kaki dan memikirkan
satu hal ke hal lainnya sembari merasakan udara yang cukup segar untuk ukuran
udara perkotaan -akan lebih menyenangkan lagi berjalan kaki pada saat hujan
baru saja reda karena udaranya memiliki aroma yang berbeda-.
Biasanya, Gue akan punya kecenderungan untuk
berjalan kaki ke swalayan ini ketika gue sedang emosi atau gue baru saja
menjalani hari yang buruk. Dengan berjalan kaki, jujur gue pengen punya sedikit
waktu untuk mengasihani diri gue sendiri atau mungkin sedikit mendramatisir
rasa sedih gue kayak di film2 yang gue tonton *korban film banget, gue tau*.
Namun, entah kenapa…bukannya berhasil menjalani
ritual mengasihani diri sendiri, gue seringnya malah menemukan hal2 yang tidak
diharapkan. Kalian tau, saat Kalian berjalan kaki di tempat2 ramai, akan ada banyak
jenis orang yang kalian temui. Kadang gue bertemu dengan seorang bapak penjual
tembikar yang membawa dagangannya yang bejibun dengan sebuah sepeda tua. Para
penjual tembikar sering gue lihat melintasi jalan ini untuk menjual dagangannya
di Pasar Beringharjo atau pasar2 lain di Jogja, mereka biasanya berasal dari
Kasongan atau malah bagian Bantul yang lebih ke selatan lagi. Bisa kalian
bayangin seberapa jauh naik sepeda dari Kasongan ke Kota Jogja? belum lagi
dengan tembikar2 yang begitu banyak dan beratnya ga usah diragukan lagi.
Melihat hal seperti itu, gimana bisa gue mengasihani diri sendiri???
Ada kalanya juga gue bertemu dengan simbah
penjual jamu. Simbah ini adalah seorang wanita tua yang setiap sore melintasi
jalan ini dengan mendorong gerobak jamu. Sering kali simbah tidak kuat
mendorong gerobaknya ketika melintasi polisi tidur di deket kos an dan harus menunggu
bantuan dari orang melintas *untung polisi tidur itu udah diilangin sekarang*.
Saat gue sedang dalam mood jelek dan tetiba melihat simbah ini, gimana bisa gue
mendramatisir kesedihan gue??
Kadang, gue juga bertemu dengan simbah2 penjual
jenang (bubur jawa). Simbah ini membawa dagangannya dengan di gendong dan
sedihnya, dagangan beliau ini sumpah lah berat banget. Jadi, kwali yang dipakai
wadah jenangnya *yang mungkin ada itu sampe 15 kilo* digendong dipunggung
sementara tangan kiri memegang ketel tempat kuah santan dan tangan kanan
memegang plastic sebagai kemasan jenangnya apabila ada yang beli tanpa membawa
mangkok. Tak jarang simbah ini istirahat di pekarangan orang karena kelelahan.
Gue sangat hafal dengan simbah yang ini karena beliau sering melintasi kos gue
dengan dagangan yang masih banyak. Melihat simbah jenang menggendong
dagangannya dengan kewalahan, oke..gue nggak bisa bikin video klip drama hidup
gue, gue tau.
Pada saat sampai di swalayan, gue sering juga
bertemu dengan simbah tua tukang parkir di swalayan. Dengan topi orange dan
sepeda othel tua yang selalu mendampinginya, bapak bertumbuh renta ini mulai
muncul di swalayan dari sehabis magrib hingga swalayan tutup pada pukul 21.00
malam. Tak jarang ada orang baik yang menghampiri beliau dan memberi uang
walaupun dia tidak parkir disitu, tak heran karena simbahnya memang keliatan
udah sepuh banget. Jangankan untuk markirin kendaraan, untuk nyebrangin kendaraan
aja simbah suka salah dan kadang dimarahin sama yang punya kendaraan. Melihat
itu semua, punya hak apa gue memaki keadaan?? punya hak apa??
Gue dulu sebenernya sempet menggerutu kenapa gue
selalu bertemu dengan orang yang jauh kurang beruntung dibandingkan dengan gue
setiap kali gue berjalan kaki karena seriusan, siapa yang nggak sedih jika
ngelihat apa yang gue lihat? bukannya mood gue membaik, yang ada malah gue jadi
treyuh sendiri keinget almarhum simbah gue.
Namun, lama kelamaan gue makin nangkep maksudnya.
Gue nggak berhenti dari kebiasaan jalan kaki ketika gue sedang dalam keadaan
kacau. Gue menggunakan metode ini untuk terus mengingatkan gue tentang betapa
beruntungnya gue bila dibandingkan dengan beberapa orang di luar sana and most of the time, it works.
Ketika
kamu jalan kaki dan menyempatkan diri mengamati sekelilingmu, kau akan tau
seberapa beruntungnya dirimu. Sesedih apapun kamu kala itu, rasa sedih itu
tidak cukup berat dibadingkan dengan seorang bapak yang kecapekan mendorong
sepeda penuh dengan tembikarnya atau simbah2 tua yang mendorong gerobak jamunya
atau simbah penjual jenang dengan kwali di punggungnya atau mungkin orang2 lain
yang bahkan harus berkeringat kesana kemari hanya demi sesuap nasi *makna
denotasi dan bukan hiperbola*.
Komentar
Posting Komentar
Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D