Pacaran dan Antagonisme Ruang

-->
Well…sebelumnya biar gue lurusin dulu. Pertama, disini gue mau ngomongin kegiatan pacaran dari sudut pandang seorang pengamat ruang. Kedua , ini  jelas bukan bentuk sinisme mewakili orang-orang jomblo yang ada di seluruh dunia. Jadi bagi para jomblo, meskipun gue di pihak kalian tapi kali ini maaf ya, ini maaf banget loh ya
Okey, dimulai aja yak.
Beberapa hari ini, gue sedang dikejar deadline skripsi dan kalo gue boleh mendramatisir, tingkat kedaruratan deadline yang gue maksud disini adalah deadline yang bener-bener DEADline karena dosbing gue keburu cuti lahiran jadi gue harus balapan sama sang calon bayi agar gue nggak terlantar nantinya karena ditinggal berbulan2 sama dosen gue yang berubah profesi jadi ‘ibu baru’.
Well..kabar baeknya, deadline yang gue maksud ini tenggatnya tinggal satu minggu lagi –lalu dimana letak baeknya??-. yep, dimana baeknya?, biar saya perjelas…
 “dude, skripsi gue yang –harusnya- setebal 100 halaman diminta kelar 1 minggu lagi padahal ngerekap data aja gue belom”. Great!!!.
Tsahhh, malah curhat, ah terusin, terusin *jewer telinga sendiri*
Dan akhirnya, ..dalam ritual ‘pantengin.data-cemil.referensi-pelototin.laptop-garuk.tembok’ yang gue lakukan selama seminggu ini, gue nemu satu kesimpulan yang cukup mencengangkan, yaitu “kegiatan pacaran di dalam ruang publik tergolong bentuk privatisasi  ruang dan jelas aja masuk dalam kategori kejahatan ruang”
Kaget?, syok?, saya tahu. Dunia memang kejam, biasakanlah.
Jadi begini penjelasannya,
Kita mulai dulu dari pengertian ruang publik. Ruang publik adalah ruang yang dapat diakses oleh semua orang, misalnya nih ye seperti taman, plaza, lapangan dan dalam kasus penelitian ini, yang menjadi lokasi penelitian gue adalah alun-alun selatan Kota Yogyakarta.
Sedangkan  antagonisme ruang adalah tindakan penggunaan ruang yang menimbulkan perasaan negatif pada pengguna ruang lainnya.
Lalu apa hubungan antara pacaran sama ruang publik sampe bawa-bawa istilah kejahatan ruang?
Berhubung penelitian gue sangat erat kaitannya dengan perilaku anak-anak dan remaja (6-21tahun) sebagai pengguna ruang, maka kesimpulan ini juga didasarkan pada persepsi mereka mengenai pengguna lain yang berada di dalam ruang tersebut.
Terdapat beberapa hal yang membuat anak-anak dan remaja memiliki perasaan negatif seperti tidak nyaman, terganggu bahkan takut ketika berada di ruang terbuka publik. Melalui hasil observasi dan wawancara yang gue lakuin, didapatkan temuan bahwa pengemis, pengamen, om-om genit asing (seriusan) dan kegiatan pacaran merupakan faktor yang menimbulkan perasaan-perasaan negatif tersebut.
Setelah nemu faktor-faktor ini, gue segera menyelidiki lebih lanjut mengapa kegiatan ini digolongkan pada kelompok kegiatan yang menimbulkan perasaan negatif pada pengguna ruang lainnya. Pada pendalaman awal mengenai faktor kegiatan pacaran, asumsi awal gue ternyata benar adanya, yaitu perasaan negatif tersebut muncul karena adanya rasa ‘iri’ oleh pengguna ruang lain karena kembali gue ingatkan sebagian besar dari responden gue ini adalah anak-anak dan remaja –dan di kepala gue muncullah indikasi bahwa mereka jomblo-.
Tapi masa iya alasannya itu aja?, nggak elit banget dah penelitian gue.
masa iya pas pendadaran gue ntar bilang ‘pak penguji, berdasarkan hasil penelitian saya, saya memberikan rekomendasi agar kegiatan pacaran di ruang publik dilarang karena menimbulkan kegalauan yang mendalam bagi para jomblo yang menjadi pengguna ruang publik lainnya”
nista banget, gue mau pake muka siapa pas pendadaran nanti buat menanggung rasa nista tersebut T.T ??
Lalu, berlatar-belakang perasaan terhina, gue mencoba melakukan penyelidikan dan analisa dengan tingkat yang lebih dalam pada kasus ini. Melalui analisa ini, ditemukan bahwa kebanyakan anak-anak dan remaja akan menghindari spot-spot yang biasa digunakan oleh yang melakukan kegiatan pacaran ini. Namun dengan catatan, kecenderungann ini baru muncul apabila tindakan pacaran dinilai sudah mulai mengarah pada tindakan mesum/asusila.
Dalam kasus alun-alun, spot yang paling banyak digunakan untuk kegiatan pacaran yang mengarah pada tindakan mesum terpusat pada area di bawah pohon beringin. Kurangnya sarana penerangan merupakan salah satu pemicu -dengan menjadikan tempat ini sebagai spot ‘tidak terlihat’- sehigga memberikan kesempatan bagi para pelaku tindakan pacaran.
Anak-anak dan remaja menghidari spot tersebut karena mereka merasa tidak nyaman dengan apa yang mereka lihat dan tidak mau terlibat dalam masalah apabila tetap menggunakan spot tersebut sebagai tempat mereka beraktivitas.
Melalui fenomena ini, secara tidak langsung akan terbentuk sebuah batasan ruang yang apabila divisualisasikan, pelaku pacaran ini seolah menciptakan sebuah selubung ruang dengan radius tertentu . Luasnya area yang tertutup selubung gue gunain buat mengilustrasikan sejauh mana anak-anak dan remaja tidak mau mendekat. Dengan kata lain, selubung ruang ini merupakan bentuk luasnya privasi ruang yang dilakukan oleh pelaku pacaran.
Lalu apakah itu privasi ruang?, disini kata privasi berlaku sebagai kata kerja,
Privasi ruang merupakan bentuk penggunaan ruang publik untuk kepentingan pribadi dan menjadikan pengguna lain tidak dapat memanfaatkan ruang tersebut.
-Kalo masih nggak ngeh, aku kasih contoh kasus, privatisasi ruang itu misalnya kayak pedagang kaki lima seperti angkringan yang jualan di trotoar. Nah, kalo dipake buat berdagang, pejalan kaki nggak bisa make trotoar dan terpaksa harus make badan jalan dengan resiko bakal ketabrak kendaraan kan?, itu dia contoh privatisasi ruang yang ngetren di jogja-
Begitulah penjelasan mengapa kegiatan pacaran masuk ke dalam kategori Antagonisme ruang dan merupakan salah satu bentuk kejahatan ruang
Lalu bagaimana solusinya?, taro ranjau di area sekeliling pohon beringin?, undang kuntilanak buat indekos di pohon tsb?, ekekekek..nggak gitu juga kali
Kalo didasarkan pada basis ilmu gue yaitu penataan ruang, maka solusi yang paling jelas adalah dengan melakukan rekayasa ruang. Rekayasa ini bisa diterapkan melalui berbagai tindakan, yaitu:
1. mulai dari yang paling ekstrim, yaitu dengan mengubah desain ruang terbuka publik.
2. Ini juga ggak kalah ekstrim, yaitu dengan menggunakan kekuatan pemerintah daerah melakukan intervensi melalui penetapan kebijakan seperti aturan jam malam. Langkah ini pernah diambil oleh pemerintah Inggris yang dikenal dengan peraturan ‘juvenille curfews’ namun gak berakhir dengan baik karena prinsip kebijakan itu sifatnya ‘memaksa’ dan diputuskan secara sepihak sehingga memunculkan protes dari berbagai pihak
3. cara yang sederhana, yaitu dengan perbaikan fasilitas melalui desain dan penempatan yang tepat. Bisa aja dengan menambahkan penerangan pada spot ‘tidak terlihat’ ini, atau melakukan pemagaran pada area rawan, atau dengan beringinnya di pindah –eh, yang ini enggak lah, bisa merubah nilai historis ntar-
Dan begitulah salah satu hasil dari penelitian gue. Yep, penelitian berjudul ‘konsep spasial ruang terbuka publik yang layak untuk anak-anak dan remaja’ judulnya sih keren..pake bawa-bawa istilah konsep spasial, tapi hasilnya. . .
Ye, gue tau
Pasti dalam otak kalian, terlintas kesimpulan bahwa skripsi gue absurd, abstrak kayak lukisan Picasso.
Gue sendiri masi kalang kabut gimana caranya ntar supaya pas pendadaran gue kagak bikin dosen  ketawa sampe pingsan.
Oh fine, emang kayaknya gue nggak bisa jauh-jauh dari hal ganjil macam ini.
Well…Wish me luck for that massacre day anyway

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home