Ngawul, My Lifestyle


Ada satu kalimat bijak yang selalu kuingat dan kupercaya sampe detik ini,

Ajining diri gumantung ing lathi, ajining raga gumantung ing busono

Secara sederhana, kalimat bijak ini memiliki pengertian bahwa penilaian orang lain terhadap kepribadian kita tergantung pada apa yang ada di dalam hati kita. Sedangkan untuk menilai keberadaan kita orang akan melihat dari apa yang kita kenakan.
Simple rule, isn’t it?
Namun, ketika melihat pada poin kedua dimana dikatakan bahwa penilaian orang pada keberadaan kita tergantung pada apa yang kita kenakan, kata-kata bijak ini serasa tidak cukup bijak.
Hahah, tapi bagiku, ini malah sangat rasional.
Kita angkat satu contoh sederhana,
Disaat kita melamar pekerjaan, kita akan tampil dengan busana yang sebaik mungkin, celana, kemeja, sepatu, bahkan ikat pinggang…semua merupakan detil yang kita perhatikan.
Pertanyaannya adalah, kenapa demikian?
Jelas saja untuk memberikan kesan yang baik pada para pewawancara kerja. Nggak kebayang aja kan gimana reaksi mereka disaat kita datang sebagai pelamar, lalu masuk ke ruangan wawancara dengan luntang-luntung kayak gembel dengan cuma memakai celana jins robek-robek dan kaos oblong plus sandal jepit. Well…ada juga sih yang memberikan pembelaan bahwa menjudge orang hanya dari penampilan bukanlah tindakan yang bijaksana. Tapi…ya, TAPI…selalu kekeuh dengan celana sobek2, kaos oblong dan sandal jepit dalam segala situasi hanya karena merasa bahwa ‘this is the real me’ jelas bukan suatu hal yang juga bisa dibilang bijaksana. Ada kalanya kita harus menghargai diri kita sendiri dengan memperhatikan penampilan sehingga kita bisa menuntut orang lain agar menghargai diri kita juga.
Dapet intinya?
Yaaa, intinya…karena kata-kata bijak yang kupercaya sejak dulu ini, aku tumbuh dengan kecenderungan menjadi seorang makhluk yang lumayan peduli dengan berbagai benda yang berkaitan dengan penampilan. Khususnya pakaian. Apalagi untuk mahasiswa, peduli dengan penampilan itu wajib hukumnya.
Hahah,
Mati nggak loooh
Namun, sebagai seorang mahasiswa yang belum punya penghasilan utama sendiri dan serasa nggak pantes aja berhedon ria dengan membeli pakaian mahal disaat orang tua susah payah membayar biaya sekolah, mau nggak mau aku harus mencari strategi agar tetep bisa memenuhi kesukaanku pada pakaian namun dengan tetap mengontrol pengeluaranku dan menjaga kode etik sebagai fashionnista namun ramah biaya hahah.
Ngawul merupakan salah satu solusi kreatif bagi para pecinta pakaian terutama baju-baju dengan gaya yang nggak biasa namun dengan harga yang sumpah.itu.gila
Kata awul berasal dari bahasa jawa ‘awul-awul’ yang bisa diartikan sebagai mengobrak-abrik  karena pada dasarnya ngawul dilakukan dengan mengobrak-abrik tumpukan pakaian yang menggunung untuk mencari jenis pakaian yang dia cari. Ngawul sendiri merupakan seni membeli barang bekas yang kebanyakan didatangkan dari luar negeri.
Awul memiliki banyak padanan istilah di berbagai kota seperti misalnya capkar (cap karung), atau barkas (barang bekas) dan lain sebagainya. Di jogja sendiri, banyak toko-toko yang menjual pakaian impor bekas, kebanyakan toko yang aku tau bernama sandang murah, pakaian2 disana djual dengan kisaran harga 5 ribu hingga 60 ribu, tergantung dengan kualitas barang bekas itu sendiri. -Namun, sandang murah menurutku tidak bisa dihitung sebagai ngawul karena kebanyakan toko-toko jenis ini di Jogja menjual barang yang sudah dipilihin dan di sortir.-
Mahasiswa sering menjadikan ngawul sebagai alternatif cara atau istilah kerennya kusebut sebagai ‘underground trick’ dalam menunjang gaya mereka. Selain karena harganya yang murah, kalau beruntung, kita juga bisa menemukan barang bermerk dengan harga yang bikin ketawa sendiri karena saking nggak lazimnya, keasyikan lainnya adalah kita bisa menemukan pakaian dengan model yang belum umum di Indonesia (mengingat barang yang dijual merupakan barang impor) -seperti misalnya pakaian dengan gaya vintage-, dan yang paling penting…semua barang tersebut masih layak pakai.
Well…bagiku pribadi, menemukan pakaian berkualitas bagus dengan harga yang murah JAUH LEBIH MEMBANGGAKAN dibandingkan memiliki afordabilitas untuk membeli pakaian-pakaian mahal sekelas distro terkenal.
Sepakat ga sepakat, this is my lifestyle :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home