Bukan Tanah, Tapi Ruang.



Kemarin ketika sedang berhenti di sebuah lampu merah, aku melihat ada satu mural yang menarik. Mural ini ukurannya lumayan gede karena dibuat pada dinding sebuah deretan toko yang tepat berada di salah satu sudut perempatan. Sebenernya bukan gambarnya yang membuatku tertarik -fyi aku selalu suka mengamati mural- melainkan tulisan yang dilukis tepat di tengah2nya dengan ukuran yang lumayan nyolok mata.
Tulisan di mural itu kurang lebih begini:
“Setiap Orang Butuh Tanah”
Mural ini ada sejak isu jogja ora didol (jogja tidak dijual) menjadi tren akhir2 ini sebagai respon terhadap merebaknya pembangunan hotel dan mall di Jogja.
Cuma kali ini aku gak mau ngebahas soal permasalahan tren pembangunan bangunan komersil di jogja, jadi anggap aja ini sekilas info karena ada yang lebih menarik untuk ditulis.

Membaca tulisan itu mengingatkanku pada salah satu permasalahan pembangunan khususnya pembangunan perkotaan yang dulu sempat disinggung2 di salah satu kuliahku.
Lalu apakah permasalahan itu?
Dari sebuah kalimat, kita dapat menangkap persepsi orang yang bersangkutan. Begitu pula melalui kalimat pada mural ini. ‘setiap orang butuh tanah’ merupakan sebuah kalimat yang merefleksikan persepsi masyarakat, dan dalam hal ini persepsi yang tertangkap adalah mengenai persepsi terhadap pentingnya tanah.
Orang Indonesia, khususnya orang jogja kebanyakan masih menganggap bahwa tanah adalah kebutuhan utama dalam hidup, mindset ini sudah tertanam secara turun menurun dalam setiap keluarga yang ada di kota ini.

Ini nggak akan jadi masalah jika yang ngomong adalah orang desa yang kebanyakan adalah petani secara mereka memang butuh tanah untuk diolah. Namun, ini akan jadi masalah jika dikatakan oleh orang yang hidup di perkotaan seperti di Jogja ini.

Tanah adalah sebuah permasalahan klise di dalam perkembangan perkotaan dimana logika dasarnya, Luasan tanah selalu tetap sementara jumlah orang diatasnya selalu bertambah.
And then what?
Persepsi masyarakat ini dianggap tidak fleksibel dengan perkembangan yang ada dan jika tidak segera diubah, maka akan terjadi masalah yang lebih serius dari sekedar masalah ‘tidak kebagian tanah’.
Untuk menyiasati permasalahan keterbatasan lahan di perkotaan, beberapa negara di luar negeri sudah menerapkan inovasi vertical building, baik untuk tempat tinggal maupun tempat bekerja. Gedung2 pencakar langit dibangun menjulang di tengah2 kota dan apartemen yang tidak kalah tinggi berderet mengelilinginya. Dan ya..permasalahan keterbatasan lahan teratasi dengan sesederhana itu.
Hanya saja untuk beberapa kota di Indonesia seperti Jogja, solusi vertical building belum bisa dikatakan sebagai solusi yang simple, misalnya kasus rusun di Jogja. Dulu saat awal2 pembangunan rusun, banyak sekali kendala yang berasal dari masyarakat. Mulai dari keengganan untuk tinggal di ‘ketinggian’ dan tidak menjejak tanah, bayangan tentang ‘rumah tanpa halaman’ serta alasan teknis seperti kelelahan harus naik tangga. Berbagai kendala ini menjadikan solusi vertical building  bahkan tidak masuk kedalam deretan solusi.
Dari sini dapat kita lihat bahwa persepsi masyarakat sangat menentukan arah perkembangan sebuah kota. Dulu, aku selalu pusing jika diminta untuk memikirkan sebuah jalan keluar untuk masalah yang sudah bawa2 cara pikir begini.

Namun setelah sekian lama pertanyaan itu terlontar, akhirnya jawaban itu nyangkut di kepala. Iya, setelah sekian lama akhirnya aku nemu jawabannya. Pas lagi panas2an di lampu merah, pas ditengah2 kumpulan kendaraan berasap, pas lagi mantengin sebuah dinding, aku nemu jawabannya, great!

Persepsi does change
Bahkan tanpa perlu kita ubah, persepsi tetap akan berubah.
Karena apa? Karena persepsi merupakan sebuah variabel dependen
Dan seperti yang kita tahu, variabel dependen dipengaruhi oleh variabel independen yang disertainya.
Hal ini juga berlaku untuk persepsi sederhana ini.

Lama kelamaan persepsi ini akan berubah seiring dengan tekanan dari perubahan fenomena yang ada. Dan tekanan itu adalah perubahan itu sendiri –mudeng ga? Alah ya gimana ini nulisnya aku sendiri aja bingung-
Jadi, kita ambil contoh saja.
Untuk Singapura atau Jakarta misalnya, ceritanya jelas berbeda dengan Jogja. Masyarakat di kedua kota ini sudah familier dengan vertical building karena keterbatasan lahan yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Kenyataan ini lah yang memaksa mereka baik secara sadar atau tidak sadar mengubah persepsi mereka terhadap tanah. Ya, bahwa tanah bukanlah kebutuhan utama, melainkan ruang. Mereka tidak bisa merengek2 pada pemerintah untuk diberikan tanah karena mereka sudah melihat sendiri kondisinya bahwa tidak ada lagi tanah yang bisa dibangun. Kalaupun ada, jika hanya satu rumah atau satu fungsi yang akan dibangun, jelas itu tidak masuk akal dan tidak efisien.
Disinilah tepatnya aku bilang bahwa perubahan kenyataan menjadi variabel independen yang siap menekan persepsi agar berubah, termodifikasi dan tersusun ulang.
Melalui pergeseran persepsi, keterbatasan lahan bahkan tidak lagi perlu digolongkan sebagai masalah, cukup sebagai fenomena. Begitu pula dengan model pembangunan vertical building yang kelak akan tergolong sebagai bentuk adaptasi, bukan lagi sebuah opsi yang masuk kedalam jajaran solusi.

Jadi kesimpulannya?
Haha, entah siapapun orang yang membuat mural itu, yang menulis ‘setiap orang butuh tanah’ -dan kuhitung sebagai representasi dari persepsi masyarakat- harus mulai mengubah persepsinya, hal ini juga berlaku bagi semua orang yang tinggal di kota.

Masyarakat Jogja harus mulai belajar membedakan dan menata ulang variabel di dalam strata kebutuhan mereka.
Lambat laun, disaat tidak ada lagi tanah yang terbentang bebas di kota ini maka mau tidak mau mereka harus merevolusi persepsi mengenai posisi tanah dalam kehidupan mereka.
Yang mereka butuhkan bukanlah tanah, melainkan ruang.

To keep alive, they should start ‘climbing’, ‘losing yard’, and re-translating what the elder ever said about things we must have:
“urep neng ndonya iku kudu duwe 3 perkoro, yaiku sandang, pangan lan papan
Iya, re-translating apakah papan itu adalah tanah, atau ruang sebagai tempat tinggal.

Komentar

Posting Komentar

Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home