Surprisingly, I am Hate-able



beberapa hari terakhir, gue kena gampar oleh suatu hal. well…sebenernya bukan suatu hal sih, tapi beberapa hal dengan satu topik besar yang datang bertubi2.
Pada suatu malam melalui Whatsapp, setelah sedikit judes2an dengan gue, seorang teman menyatakan bahwa dia marah padaku lengkap dengan mode capslock full ON nya. secara tidak langsung dia mengatakan bahwa gue adalah orang egois yang selalu sibuk dengan urusan gue sendiri dan nggak pernah mau menyempatkan diri untuk sekedar memberi nasehat ketika dia membutuhkan.
pas baca message dia “AKU MARAH SAMA KAMU!!” gue dengan cueknya membalas: “oh, yauwis gapapa, terusin wae marahnya.” pada detik itu, jujur gue nggak merasa bersalah sama sekali, tidak sedikitpun.
ya gimana, kerjaan gue banyak, gue harus lembur, dan kalaupun kerjaannya udah selesai, gue pasti cuma kelesotan di kos dalam keadaan lelah dan diajak curhat semalaman dengan harapan bakal memberi pencerahan jelas diluar kapasitas gue. Plus, sebagai pembelaan gue menawarkan untuk membantunya di hari lain tapi dia nggak mau tau dan memilih untuk langsung marah.
but yep, tetep..gue nggak merasa bersalah, yang terlintas di pikiran gue malah “temen macam apaan begini?”, iya komentar negatif refleks aja gitu keluar dari mulut gue.
udah capek, kena marah lagi. gue nggak mujur kan?
well..ternyata kondisi ‘kurang mujur’ ini masih keliatan kurang buruk jadi ada yang lebih buruk lagi datang mengantri. Setelah kejadian itu, dua hari berikutnya ada lagi temen lain yang mendadak nggak mau menyapa gue pas ketemu dan setelah gue tanya alasannya, ternyata dia marah sama gue karena gue berkali2 nggak ngebales message dia. -yep, gue akui bahwa pada bagian yang ini gue lumayan salah,  daya inget gue yang sumpah ancur banget sering ngebikin gue kelupaan buat jawab sms orang.-
ohmen why??
tadinya gue sewot sendiri kenapa harus ada situasi seperti ini. Menurut logika gue, ga ada yang salah sama gue. I mean come on…gue harus kerja buat membiayai hidup gue men! elu nggak tau itu dan elu nggak berhak menjudge gue hanya karena gue nggak bales WA lu waktu itu –itupun karena WA nya pada waktu itu menurut gue nggak penting2 amat-  atau gue menunda sesi curhat karena waktu itu gue bener2 harus lembur.
Selama ini, gue berusaha keras untuk nggak menyusahkan orang lain. Sebisa mungkin gue selalu berusaha untuk mengatasi masalah gue sendiri. Dan kalaupun ada satu kondisi dimana gue harus minta bantuan, gue selalu memastikan bahwa orang yang gue mintain bantuan memang lagi longgar buat membantu. Itu yang namanya temen kan?? mencoba mengerti kondisi kita dan bukannya mempersulit kita?
sungguh, gue ngerasa ruwet banget waktu itu,
Lalu akhirnya pas gue lagi nongkrong sama Resty di Malioboro semalem, keruwetan itu keluar begitu saja di sela2 pembicaraan ngalur ngidul kami.
Gue berharap dia mengiyakan argumen gue dan ikut menyalahkan kedua temen gue yang ngambek itu. Gue mau dia memaki sebagaimana gue memaki karena sejauh ini dialah orang yang paling ngerti gue luar dalem.
Tapi ternyata dia nggak memaki, dia nggak secara otomatis mengiyakan argumen gue.
Dia bilang:
“emang sih, kadang kowe nyebelin kalo di wassap, apalagi kalo kowe ngejawab pake cara jawab kayak yang biasa iku”
“cara biasa iku? oh, yang aku jawab: ‘sek, aku lagi sibuk’ itu?”
“iya, itu..kowe iku kedengerannya nyebelin gitu. songong”
dan gue cuma diem, mencoba mengingat2 berapa puluh kali gue ngetik ‘sek aku lagi sibuk’ ke temen2 gue pas gue nggak bisa ngobrol dengan mereka di whatsapp.
gue nggak pernah menyangka kalau Resty pun bisa menangkap WA gue itu sebagai bentuk kesongongan dan menjadikan satu kalimat singkat -semacam ‘sek aku agi sibuk’- sebagai bukti yang cukup untuk memasukkan gue ke kategori nyebelin.
gue ngerasa kegampar, banget. payah sekali gue ini, gue baru bener2 bisa ngebuka mata kalo udah ‘digampar’ sama temen baek sendiri begini.
Gue dulu pernah nulis –entah dimana gue lupa- bahwa mungkin kita memang selalu menjadi seorang tokoh utama protagonis dalam hidup kita namun bukan berarti kita akan menjadi protagonis atau setidaknya tritagonis dalam kehidupan orang lain. Bahkan, bisa saja kita yang jadi antagonisnya, dengan kata lain…bisa saja kita tokoh jahat dalam hidup orang lain.
dan sekarang gue sadar. Secara tidak sengaja, gue menjadi tokoh antagonis dalam hidup orang lain.
ohmen, tetiba aja bagian lain dari diri gue bergumam: “tun, elu hate-able banget ternyata, nggak kebayang kan? shocking kan? egois sih elu tun.”
banyak yang gue pikirkan setelah percakapan kami malam itu. Dan dengan berat hati gue akui bahwa emang sih, pastinya cara gue ngejawab message/wassap/telpon/inbox/atau apapun itu kadang rada bikin perasaan gerah.
Gue baru sadar bahwa cara gue memaknai kata ‘teman’ ternyata belum tentu sama dengan pendapat orang-orang dan gue nggak bisa memaksakan mereka untuk mengubahnya agar menjadi sama.
Gue memutar ingatan gue yang payah ini kembali ke masa2 awal gue hidup di Jogja. Dulu, sebelum bener2 mengenal Resti dan Prita, mereka mengaku kalo mereka nggak suka sama sekali sama gue. Mereka bilang gue dulu keliatannya songong, nggak friendly, dan beberapa hal negatif lainnya.
Setelah flash back itu, gue melompat kembali ke masa kini. Masa dimana Resti dan Prita menjadi temen baik gue selama 4,5 tahun ini. Iya, mereka yang dulu ngebenci gue sekarang masing2 menjadi BFF (Best Friend Forever) dan BPP ( Best Prank Poreper) yang selalu bisa gue andalkan.
4.5 tahun mennn…setelah gue menyadari betapa gue bisa menjadi sangat hate-able, dan betapa gue bisa bikin orang mendadak pengen ngumpat sambil ngelempar gerobak bakso tusuk ke muka gue yang emang kadang sengak ini, gue jadi ciut sendiri membayangkan mereka berdua dan beberapa temen baik gue yang lain bisa bertahan untuk berada di samping gue selama 4,5 tahun ini–dan masing terus menghitung-
okey, kesimpulannya?
saatnya memperbaiki kelakuan gue dimulai dengan membalas beberapa pesan dari temen yang udah bulukan, minta maaf, dan tentu aja berterima kasih karena mereka uda sebegitu tangguhnya betah jadi temen gue hehe
FYI, pas gue WA resti bilang makasih untuk 4,5 tahun ini, dia langsung nanya: “elu mau mati?, kok pamit kayak gini?” well…what a nice respond K
4,5 tahun bukanlah waktu yang sebentar,
dan gue harusnya mengapresiasi kemauan mereka untuk tetap bertahan.
mari menjadi lebih baik karena meski gue nggak suka dengan istilah lovable, seenggaknya gue nggak mau jadi hateable.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home