Oh oke,



Inget cerita gue tentang tetangga gue yang suka bertengkar dengan ibunya dan melibatkan soundtrack alami dari piring dan gelas yang dibanting?
iya cerita itu, cerita yang ngebikin gue parno setengah mati
Orang tua gue adalah orang terakhir yang ada di dunia ini yang ingin gue ajak bertengkar dan adu kekuatan ngebanting peralatan makan.
dan dengan melihat -gue ngintip lewat jendela sebenernya- tetangga gue itu berteriak di depan muka orang tuanya sendiri, gue jadi teringat sama orang tua yang gue miliki.
percaya atau nggak percaya, setelah mendengar drama musical itu, gue dengan konyolnya langsung nelpon bapak gue yang ada di rumah cuma buat nanya ‘bapak ibu sehat kan?’
Gue geli sendiri bagaimana pertengkaran tetangga gue bisa membuat gue ketakutan dan delusional.

Jujur aja, gue bukan tipe orang yang intens menghubungi orang tuanya yang ada jauh di sana cuma untuk sekedar nanya kabar apalagi nanya apa yang terjadi di rumah selama gue nggak ada.
Orang tua gue nggak pernah mengajari gue rutinitas semacam itu dan gue nggak pernah punya inisiatif juga jadi ya…that is my family.

Pertengkaran tetangga gue ini juga membuat gue ingat dengan salah satu wejangan orang yang ngebikin gue sedikit tertohok saat survei ke salah satu kabupaten baru di Sumatera Selatan beberapa minggu yang lalu.
Waktu itu, kerjaan gue mengharuskan gue untuk bertemu dengan banyak orang instansi/SKPD (Satuan Kerja Penyelenggara Daerah) garis miring PNS struktural.
Pada suatu waktu ketika urusan gue udah selesai di salah satu instansi dan sedang menunggu mobil jemputan gue dateng, ada satu mas-mas kepala bidang –dia angkatan 2000 jadi gue dengan awkward manggil dia mas- yang berbaik hati mau menemani gue ngobrol ngalur ngidul biar gue nggak keburu amnesia di tempat dan mulai ngajak ngobrol pohon sawit yang jumlahnya lebih banyak ketimbang populasi manusianya sendiri.

Mas-mas ini nanya banyak hal, mulai dari dimana gue tinggal, dimana gue kuliah, bagaimana rasanya magang dan banyak ini itu lainnya. Sampai pada akhirnya, ada satu jawaban gue yang ngebikin dia terheran-heran,
“heh, kamu pulang ke rumah 2 bulan sekali? itu pun kalo sempet??” andai kalian ada disana, kalian akan lebih jelas ngelihat bagimana mas itu menatap gue seolah-olah gue barusan ngaku kalau gue janda yang udah punya tiga anak dan empat cucu.
“kamu nggak kasihan sama orang tua? apalagi jarak Jogja-Boyolali kan deket?” *ngomong lagi masih dengan tatapan ‘elu janda beranak tiga?!?’*
kasian? kenapa kasian? gue bingung sendiri dengan mas-mas di depan gue itu yang menurut gue over reacting
dia menjelaskan banyak hal, memberikan argumen panjang lebar, dan menambahkan pengalamannya sendiri agar lebih meyakinkan.
Lalu pada bagian penutupnya, dia bilang: “Orang tua kita itu sudah semakin tua, kamu ga punya waktu selamanya buat bisa peduli sama mereka. Kalau bukan sekarang kapan lagi? kalau bukan kamu siapa lagi?”

Tanpa gue sangka, dua baris kalimat terakhir itu bener2 ngasih efek ke otak gue layaknya tagline iklan mastin yang sukses nempel di memori karena saking amazingnya kekuatan itu iklan.
dan respon yang disarankan oleh otak gue hanyalah sepotong kata "Oh, Oke." -oke oke itu dua kata-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home