Manusia is a Fuckin Subjective Creature



Sebelumnya, mari kita kesampingkan fakta bahwa saat ini gue dengan anehnya memenuhi predikat sebagai weirdo karena malah memilih buat membuka laptop gue ketimbang tidur  padahal baru aja pulang dari nongkrong berjam-jam yang melelahkan.
Dari judul post ini, mungkin semua orang akan menebak bahwa gue sedang dalam mood yang tidak menyenangkan dan dalam mode ‘apa.senggol.gue.bacok’ but nope, kalian salah. Gue cuma sedang berada di bawah pengaruh kafein sehingga sedikit over anxious karena gue memang cafein intolerant. Tapi selebihnya gue ingin menyatakan bahwa secara umum I am totally perfectly fine jadi jangan khawatir. Gue merasa sangat waras.

Hari ini ceritanya ada semacam farewell party untuk anak-anak kantor yang masa kerjanya habis setelah mengerjakan suatu proyek. Gue, yang bahkan nggak terlibat dalam proyek tersebut, somehow dapat undangan dan berhubung gue anaknya murahan banget dan nggak bisa nolak kata ‘gratisan’ akhirnya iya-iya aja ngikut kemanapun mereka semua pergi –hehe.
Saat sudah tiba di lokasi dan semua orang sudah asik di mejanya, ketawa-ketawa, ngobrol, makan, bercandaan, tiba2 supervisor tim berdiri dan menyampaikan secarik kertas catatan yang dilipat rapih ke masing-masing anggota tim. Di atas kertas tersebut khusus terdapat nama dari masing-masing anggota tim. Gue yakin sekali bahwa kertas itu berisi ucapan terima kasih dari sang supervisor jadi jujur saat melihat adegan bagi2 kertas itu gue merasa terharu karena jarang ada supervisor yang seniat itu sampai-sampai membuat catatan personal untuk masing-masing anggotanya.
Saat semua orang membuka lipatan kertas di tangan mereka, kegaduhan mulai terjadi. Supervisor tersebut selanjutnya meminta mereka untuk membaca keras2 catatan yang mereka dapet dimulai dari anak kesayangan sang supervisor yang dari sini mari kita sebut anak ini dengan sebutan Captain America.
Captain America berdiri, lalu membaca catatan yang kurang lebih berbunyi; “Captain America, terima kasih banyak atas bantuannya selama ini. Kamu anak yang cerdas, aktif, banyak membantu, gampang nangkep perintah, blahblahblah, kamu adalah yang terbaik dari semua anggota tim yang ada.”
Saat Captain Amerika selesai membaca dan kembali duduk,  sorakan riuh dari anggota tim lainnya langsung bergemuruh. Semua bersorak, menggoda, tertawa, berbahagia.
Lalu setelah dilanjutkan oleh beberapa anggota tim yang lain, sampailah pada giliran anggota tim yang selanjutnya mari kita sebut sebagai Iron Man.
Iron Man berdiri, terdiam sesaat sambil tersenyum kecil lalu mulai membaca catatan yang dia dapat. Seingat gue, bunyinya kurang lebih begini:
“Iron Man, terima kasih atas kerja kerasnya selama ini. Kamu telah banyak membantu meskipun di saat capek kamu bisa jadi gampang ngambek. Siapa sih ya yang nggak capek mengerjakan kalau sudah sampai klimaks rasa lelah? Saya maklum. Saya minta maaf kalo selama ini ada kesalahan ketika memimpin proyek ini dan blahblahblah”
Setelah membaca catatannya, si Iron Man ini reflek mengucapkan permintaan maaf kepada sang supervisor di depan semua anggota tim. Syukurlah berhubung ada banyak orang dan suasana sedikit tidak terkontrol, situasi canggung yang terbentuk saat itu bisa tersamarkan.

Gue terdiam di kursi gue. Mencoba mencerna ‘catatan menyentuh’ yang tadi di awal sempat gue kagumi namun di akhir meninggalkan sedikit rasa tidak enak di hati.
Gue adalah orang luar yang tidak terlibat dengan proyek mereka yang terkenal punya tekanan sangat berat. Namun sedari awal proyek ini berlangsung, -I mean benar-benar dari awal banget- mulai dari rancangan proyek, perekrutan anggota sampai tahapan akhir, gue berada di sana. Mengamati proyek bencana itu serta orang-orang yang tersiksa di dalamnya.
Baik sang Supervisor, Captain America maupun Iron Man, ketiganya adalah orang yang cukup gue kenal baik dari sisi personal maupun sisi professional (dari karakter kerja mereka).
Captain America adalah tipikal orang yang selalu perfeksionis dan berdedikasi dalam mengerjakan segala sesuatu. Dia selalu berkomitmen untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Dia pekerja keras, cerdas, komunikatif namun sayangnya, dia tidak pernah mempertanyakan haknya dan selalu menuruti apa kata atasan, tidak peduli itu melewati batas beban yang harus ditanggung atau kapasitas yang dia miliki.

Iron Man adalah orang yang berkebalikan dengan Captain America.
Iron Man adalah orang yang praktis dan memiliki pemikiran yang kritis. Sebelum mengerjakan sesuatu, dia akan menganalisa keefektifan pola kerja yang ditetapkan sang supervisor dan tidak akan ragu-ragu mengajukan protes apabila cara kerja tersebut dia anggap tidak efektif. Karena tergolong tidak sekomunikatif Captaian America, tanpa mampu berkompromi tidak jarang Iron Man akan merumuskan strategi yang berbeda untuk menyelesaikan pekerjaan sehingga tidak heran kalau dia dan sang supervisor sering berseberangan jalan.
Dari penilaian gue, baik itu Captain America maupun Iron Man sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam proses pengerjaan proyek, Captain America banyak memback-up kekurangan teman-temannya sehingga mampu memenuhi tuntutan standar tinggi sang supervisor -Thanks to karakter pekerja keras dan perfeksionis yang dimilikinya-. Namun disaat pekerjaan sudah mulai di luar batas kewasaran, Iron Man akan melangkah ke depan untuk menyelamatkan teman-temannya termasuk sang Captain America.

Gue merasa bahwa proses kerja mereka yang gue lihat selama ini telah menciptakan sebuah tim yang indah. Mereka saling menjaga dan menyelamatkan. Oleh karena itu, mereka memang layak mendapatkan penghargaan. Mereka semua.

Namun hari ini ide tentang ‘penghargaan’ tersebut runtuh seketika.
Gue, sekali lagi sebagai outsider, merasa sedikit tersakiti saat melihat apa yang terjadi. Memiliki penilaian pribadi tentang orang-orang di sekitar kita adalah hal yang paling normal dalam hidup seorang manusia. I mean, elahhh itu mah sudah menjadi bagian dari insting kita untuk mempertahankan diri sebagai makhluk hidup. Namun bagi gue, adalah hal yang kurang bijaksana untuk seorang supervisor mendeklarasikan personal judgment nya tentang seseorang di hadapan umum. Meskipun secara tata karma nggak ada yang salah dengan catatan tersebut karena sudah dibuat sehalus mungkin dengan  sugar coating berupa pemanis ucapan maaf dan terima kasih dan beberapa pujian kecil, gue masih merasa bahwa itu tidak fair.
Kalau gue berada di posisi Iron Man hari ini, mungkin gue sudah menangis dalam hati. Dan kalau gue berada di posisi Captain America, gue akan sangat tidak enak hati karena supervisor gue sendiri dengan jelas-jelas membedakan gue dari teman-teman gue dengan menyatakan bahwa gue lebih baik dari partner kerja gue yang lain.

Manusia adalah makhluk yang sangat subjektif. Kamu akan mengatakan bahwa si A adalah orang yang sangat baik karena sejauh ini A selalu memberikan benefit untukmu. There is no way you gonna badmouthing him/her as long as s/he has an important role in your business.
Dan sebaliknya, kamu akan dengan mudah menyimpulkan bahwa B adalah orang yang tidak baik simpel hanya karena selama kamu berinteraksi dengan dia, kamu sering menghadapi kesulitan.

We are a really fuckin selfish species.
Kita menilai segala sesuatu di sekeliling kita dengan menggunakan diri kita sebagai parameter pusatnya.
Iya, pemikiran kita bisa sedangkal itu.

Komentar

  1. Sependapat, Budhe...

    "Kita menilai segala sesuatu di sekeliling kita dengan menggunakan diri kita sebagai parameter pusatnya.
    Iya, pemikiran kita bisa sedangkal itu."

    Begitulah manusia pada umumnya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home