Relatively Stupid




Selama beberapa tahun terakhir belajar mengenai ekonomi wilayah, gue mulai memahami suatu konsep bernama relativitas. Say, karena tidak ada standar rigid untuk menentukan suatu daerah itu perekonomiannya tergolong kuat atau lemah, biasanya ekonom akan menggunakan perbandingan kondisi dengan daerah lainnya. Misalnya daerah x memiliki 1000 unit modal. Untuk mengetahui 1000 unit itu tergolong lemah atau kuat, maka daerah x akan dibandingkan dengan daerah-daerah yang memiliki karakter maupun kondisi yang similar dengan daerah x. In that way kita akan bisa menentukan langkah kedepan khususnya dalam lingkup perencanaan daerah yang bersangkutan.
Keluar dari topik pekerjaan, relativitas ternyata terbentuk pada setiap aspek dalam kehidupan, salah satunya adalah kecerdasan seseorang. Banyak yang bilang bahwa gue adalah orang yang pintar --bukan cerdas--. Mungkin sekilas, gue juga akan berpikir demikian. Sekolah di SMA favorit, kuliah di universitas ternama, bekerja di bidang yang disuka. Bagian mana yang nggak pintar?
Tapi mari coba kita lihat satu cerita yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Gue nggak pernah dapet rangking atas pas di SMA, gue nggak pernah menang kejuaraan, If I may add..gue bahkan pernah dapet rangking 250 dalam sebuah olimpiade matematika pas SMP dulu, amazing isn’t it? Lol gue juga gabisa untuk nggak takjub sama kebodohan gue sendiri sampai bisa dapet ranking sebegitu cantik. Seriusan. Hal sama berulang pada masa kuliah. Gue bukan mahasiswa yang outstanding yang di notice oleh dosen maupun anak angkatan karena otak gue. Prinsip kuliah gue lebih ke arah survive ketimbang shines brightly dan FYI ada 3 C di transkrip nilai gue. LOL
*Okey, to be fair pintar maupun cerdas memang nggak selalu bisa diukur dengan prestasi akademik. Cuman gue yakin aja nggak ada orang cerdas yang bakal dapet rangking ratusan pas lagi olimpiade*
So from that point forward, I strongly believe that I am neither pinter nor cerdas. Just simply stupid.
but the relieving part is, at least intelligence level isn’t directly proportional to happiness rate. Life doesn't require that much of intelligence. Thank God for that.

Meskipun dilihat dari sudut manapun gue merasa bahwa gue adalah orang yang absolut bodoh, tapi somehow mendeklarasikan bahwa gue adalah orang yang bodoh terasa seperti sebuah penghianatan pada Tuhan yang sudah menitipkan otak di tengkorak kepala gue ini.
Mau bilang bodoh kok ya bisa lulus sarjana, mau bilang bodoh kok ya kerjanya di bidang akademik, mau bilang bodoh kok tapi sering juga ngegoblok-goblokin dalam hati tiap kali melihat orang doing something really really unbearably stupid.
Tapi sungguh, gue adalah orang yang bodoh. Semakin gue memahami lingkaran kerja gue, lingkungan pertemanan gue, gue sering sekali terperanga melihat betapa banyak orang cerdas bertebaran di sekeliling gue. Bagaimana bos gue bisa mengaitkan banyak fakta dari berbagai aspek berbeda dan merumuskan kebijakan. Bagaimana teman-teman gue mengkorelasikan satu hal dengan hal lainnya. Bagaimana temen gue bisa nulis blog full inggris dengan banyak kosa kata alien yang bikin sakit kepala. Bagaimana pamitan buat sekolah ke luar negeri sudah sesering penjual bakso yang lewat di samping kosan.
Benar kata orang, di atas langit masih ada langit. Di balik semangkuk Indomie ada gumpalan micin yang mem-bego-kan diri.
Compared to them, I am just a spec of dust within the galaxy.
That's why I come up with this 'relatively stupid' idea.

LOL, pardon my absurdity.
Sometimes, in order to know ourselves better, it is fine for us to acknowledge our weaknesses and even laugh at it.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home