Kampong Glam Wajah Lain Singapura dalam ‘Belantara’ Gedung Pencakar Langit


K
ota-kota di dunia memiliki ciri khas dan identitas masing-masing layaknya manusia yang memiliki perbedaan warna kulit, suku, ras, agama dan budaya yang membuat mereka mampu dikenali dan dibedakan dengan manusia lainnya. Namun, seiring dengan perkembangan jaman dan dinamika perkotaan yang terus berubah menjadi semakin kompleks karena pengaruh modernitas, fenomena pertumbuhan kota menjadi terkesan mulai tidak seimbang karena arah pembangunan yang lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan manusia didalamnya dan cenderung mengabaikan jati diri dari kota itu sendiri.
            Gedung-gedung pencakar langit dibangun dengan teknologi tinggi untuk mengakali lahan yang sempit. Pusat-pusat perbelanjaan modern dibuat untuk menunjang gaya hidup masyarakat dan menarik wisatawan. Jalan-jalan diperlebar, rambu lalu lintas ada dimana-mana, polusi udara semakin parah dan degradasi lingkungan tidak terelakkan.
            Perkembangan tersebut mulai dianggap menjadi bias dari suatu awal kemunduran. Disaat kota sudah dipenuhi oleh berbagai macam produk pembangunan fisik yang serba canggih dan terlihat sangat menjanjikan, di sisi lain kota tersebut menjadi tampak sama saja dengan kota lain karena identitas dan ciri khas yang mulai tetutupi atau bahkan hilang oleh keberadaan bangunan-bangunan tinggi .
Singapura, negara yang terus dan terus berkembang namun merupakan salah satu negara yang sadar akan ‘sisi lain dampak pembangunan’ tersebut. Perkembangan Singapura yang begitu pesat tidak menjadikan Singapura kehilangan identitasnya karena negara tersebut memiliki komitmen yang kuat dalam melindungi dan melestarikan ikon-ikon sejarah dan budaya yang merupakan awal mula perkembangan negara itu sendiri.
Salah satu bukti nyata keseriusan Singapura dalam upaya menjaga jati diri dan menghargai sejarah masa lampau adalah keberadaan Kampong Glam.
Kampong Glam merupakan kawasan bersejarah dengan nilai historik yang tinggi dan terus dijaga sampai sekarang. Dalam Raffles Town Plan tahun 1822, pada awalnya kawasan tersebut dimanfaatkan sebagai zona permukiman untuk para imigran muslim serta pedagang yang antara lain berasal dari Malaysia, Jawa, Sumatera, India serta Arab dengan konsep penataan yang didasarkan pada status sosial dan ekonomi.
Photo source: yoursingapore.com

            Kawasan tersebut berkembang pesat hingga detik ini menjadi kawasan komersil yang diwarnai oleh pedagang-pedagang multi etnis yang saling berdampingan dalam suatu komunitas yang terjalin dengan baik. Selain sebagai kawasan komersil dengan barang-barang unik yang diperdagangkan, kawasan tersebut juga menjadi pusat aktivitas masyarakat muslim. Komunitas multi etnis ini datang dengan membawa kebudayaan dari tempat asal mereka masing-masing sehingga menciptakan suatu lingkungan hidup yang diwarnai oleh begitu banyak keragaman yang tercermin melalui bahasa, makanan, event budaya, begitu pula dengan barang-barang yang diperdagangkan.
Saat mengunjungi kawasan tesebut, melihat berbagai makanan tradisional yang ditawarkan, kerajinan tangan khas melayu serta berbagai merchandise unik yang dipajang serta didukung dengan nuansa yang ditimbulkan oleh desain bangunan lama yang berjajar rapi dengan Masjid Sultan sebagai background landscape, sense of place yang dipancarkan benar-benar terasa unik dan tidak akan bisa ditemukan di tempat lain.

Keunikan tersebut memberikan dampak positif bagi sektor pariwisata karena banyak wisatawan mancanegara yang tertarik untuk melihat ‘wajah lain’ dari Singapura yang biasanya lebih dikenal lewat Orchard road maupun Marina Bay view from the top nya. Selain itu, keberadaan Kampong Glam juga mendorong perekonomian masyarakat sekitar yang hidup di kawasan tersebut.
Jadi, sebenarnya mempertahankan kawasan bersejarah belum tentu menurunkan profit negara karena tidak ada gedung pencakar langit yang dibangun atau investasi bisnis yang ditawarkan, bahkan poin plusnya, keberadaan heritage seperti ini malah menjadi penyeimbang pembangunan di perkotaan agar tidak terlalu konsumtif dalam pemanfaatan ruang dan energi yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home