Ketika Idealisme itu –ternyata- ada


Idealisme?
Pftttttt
I don’t even think I have one of those abstract stuff, seriously.
Yeah, sebenernya setahuku aku memang bukanlah orang yang mengedepankan idealisme, khususnya dalam hal kerjaan serta bidang yang akan aku geluti di masa depan. Yep..idealisme yang tercermin dari keinginan setiap mahasiswa PWK yang ingin bekerja sebagai urban planner yang suatu saat nanti bisa mengubah dunia dengan tangannya seperti John lerner (walikota Curitiba) atau contoh lokalnya, seperti Jokowi yang berkomitmen untuk menata Jakarta.
Bahkan aku sering ngerasa bahwa aku adalah jenis manusia pesimistik yang terlalu percaya pada analisis logika dan rendahnya probabilitas kemunculan ‘miracle’ dalam kehidupan nyata. Untuk lebih gampangnya, bisa lah karakterku disejajarkan dengan squidward dalam kartun spongebob ataupun karakter Raju dalam film three idiots.
Hanya saja, karena suatu peristiwa, secara mencengangkan aku menyadari bahwa di dalam diri ini –ceilah- idealisme itu ternyata ada. Dari pengalamanku akhirnya aku tahu bahwa ternyata sebuah idealisme akan muncul apabila dipicu oleh satu peristiwa tertentu hingga idealisme itu pada akhirnya menampakkan wujudnya.
Dan peristiwa apakah itu? Beginilah ceritanya,
Dengan status sebagai seorang mahasiswa yang telah selesai pendadaran –walopun revisi belum kesentuh- aku punya misi baru untuk mengisi masa luangku selama jeda menunggu wisuda agustus nanti. Misi yang sudah sangat jelas sebenernya, yaitu misi untuk nemu kerjaan karena mengingat RPJP (rencana pengembangan jangka pendek) yang kumiliki adalah mei lulus, dan juni dapet kerja.
Dan ya, aku berhasil lulus mei, berarti sudah saatnya menjalankan misi berikutnya dalam rencana idup jangka pendekku, yaitu menemukan pekerjaan, a real occupation
Setelah beberapa kali mendapat panggilan dan gagal -hehe-, akhirnya ada satu panggilan untuk mengikuti tes di sebuah perusahaan satelit swasta yang memiliki kantor pusat di Bekasi. Perusahaan satelit? Seorang urban engineer melamar di perusahaan satelit? Yep..disinilah titik dimana aku bilang aku tidak mengedepankan idealisme. Aku melamar setiap kesempatan yang melintas di depanku, doesn’t matter what is that, sejauh itu memberikan ‘a real occupation’ yang menjadi sasaran ku, why not?
Panggilan test itu datang pada tanggal 21 mei 2013, seorang staff perusahaan tersebut menelponku untuk mengkonfirmasi apakah aku memang melamar salah satu posisi yang ditawarkan oleh perusahaan mereka. Aku refleks menjawab iya karena seingatku, like what I said, aku mencoba semua kesempatan. Konyolnya, aku nggak ingat posisi apa yang kulamar dari perusahaan tersebut, dan setelah kubuka rekap lamaranku, ternyata posisi yang kulamar adalah sebagai seorang customer care.
What a sick joke.
Kayak yang melamar di perusahaan satelit buat seorang urban planner nggak cukup menggelikan aja, posisi customer care membuat lelucon ini makin parah, dan…bener2 nggak waras.
Sampai disini, logika pendekku yang lebih mirip dengan logika Patrick Star dalam memandang suatu masalah membuatku meneruskan jalan cerita gila ini dengan tetap memenuhi panggilan tersebut. Aku datang, duduk dengan manis, dan mengerjakan psikotes tanpa prasangka apa-apa, malah sejujurnya, aku nggak berpikir bahwa aku akan lolos test tersebut karena baru kali itu aku mengerjakan psikotes dengan model seperti itu, bahkan bisa dibilang aku setengah males ngerjain psikotes bagian terakhir, yaitu tes koran segede kertas A2.
Yang mengejutkan adalah, aku lolos psikotes itu. Nggak tahu lah gimana sistem penilaian pada test ini karena aku ingat banget bahwa bisa dibilang aku kalah cepat dibandingkan dengan peserta tes lain dalam mengerjakan tes Koran. Well, tapi itu bukan inti post kali ini, jadi kita lanjut aja.
Setelah lulus tahap psikotes, aku diberi waktu sekitar dua jam untuk mempersiapkan tes selanjutnya, yaitu wawancara user. Bukannya bersiap-siap, waktu yang kumiliki ini malah kugunakan untuk ngobrol bareng temen2ku via WhatsApp. Nggak ada maksud menyepelekan atau sok-sok an nggak butuh persiapan, hanya saja ada sedikit perasaan khawatir yang terselip dalam diriku ketika tahu bahwa aku lolos untuk tahap selanjutnya, dan mennn..itu tes wawancara, salah satu kekuatanku adalah dalam hal berkomunikasi dengan orang lain, that anxious feeling in my scumbag brain getting worse
Selain itu, rasa khawatir ini terasa nyata karena aku menyadari bahwa targetku untuk mewujudkan hasil final yaitu keliling dunia yang telah kurancang bersama resty tidak akan tercapai jika karirku dimulai sebagai seorang customer care (CC) apalagi di perusahaan satelit, sebuah perusahaan dengan lingkup fokus yang sangat jauh berbeda dari spesialisasi keahlianku. Selain itu, perasaan khawatir ini semakin diperparah oleh pendapat dari beberapa temen baik yang menyayangkan langkah yang kuambil karena aku dianggap menyia-nyiakan potensiku dengan melamar posisi CC yang faktanya merupakan posisi cukup sulit untuk pengembangan karir.
Dan begitulah, disaat yang lain sibuk menerka-nerka apa yang akan ditanyakan oleh user, aku malah berpikir keras bagaimana caranya agar aku nggak lolos pada tahapan ini. Namun, disaat giliranku tiba, aku tidak bisa mengendalikan situasi sesuai dengan strategi penggagalan itu. Aku bicara di depan user dengan karakter yang terlalu kuat, karakter yang aku banget, karakter orang yang bisa bicara banyak hal hanya dengan dipicu satu pertanyaan. Karakter yang terlalu match untuk posisi CC!!
Keluar dari ruang wawancara, aku merasa terserang migrain tiba-tiba. Aku sangat yakin bakal diterima karena dari analisis yang kulakukan, bapak user yang mewawancariku sangat tertarik dengan caraku menjawab, bahkan disaat aku mematok gaji yang sangat tinggi untuk ukuran customer care dengan harapan mereka mencoretku dari daftar, bapak user itu tidak menganggap hal tersebut sebagai masalah.
Idealisme yang selama ini kutatap sinis, menamparku dengan penuh kemenangan. Aku jatuh dan rasanya sakit mennn. Dan rasa sakit itu bertambah buruk saat aku menerima informasi bahwa aku lolos wawancara user. Aku diminta datang kembali untuk mengikuti wawancara HRD dengan agenda offering berupa negosiasi gaji, kontrak kerja dan apalah aku gatau lagi. Itu sama saja artinya, I got this job!!
Rasa takut yang kumiliki semakin besar, well..begitu juga dengan rasa bersalah yang mengiringinya. Rasa bersalah karena jika aku menerima pekerjaan ini, sama saja aku melepaskan segala passion yang kubangun selama 4 tahun ini. 4 tahun kerja kerasku di studio, kecintaanku pada sensasi ‘mau gila’ saat berhasil menyelesaikan tugas, tantangan, petualangan, dan yang utama..kecintaanku pada tata ruang yang kuyakini dapat merekayasa perilaku manusia.
Semalaman aku nggak bisa tidur karena merasa bahwa kebodohanku membawa pelajaran yang sangat luar biasa. Pelajaran tentang gaji besar yang ternyata belum tentu memberiku rasa aman. Gaji yang besar tidak akan bisa membeli passion yang sudah terlanjur menyatu dengan fisik dan psikisku.
Tuhan menjawab pertanyaanku pada post sebelumnya. Aku telah salah!!
Dari situlah aku memutuskan untuk berupaya keras agar aku bisa menggagalkan wawancara HRD ku. Dan Alhamdulillah, haha.. ibu HRD yang sempat mencoba berbagai cara diplomatis untuk membuatku menurunkan standar gaji yang kutetapkan akhirnya menyerah dan bilang bahwa beliau tidak akan menerimaku dengan standarku yang terlalu tinggi. Mungkin di mata beliau aku hanyalah seorang lulusan baru yang terlalu sombong dengan gelar sarjana teknik yang kumiliki dan terlalu mata duitan karena nggak kira-kira dalam memasang range gaji. Wkwk..tapi syukurlah, dengan kebusukan yang kutunjukkan, Tuhan mengeluarkanku dari dilemma itu karena Tuhan lah yang paling tau bahwa aku mungkin akan menyesal seumur hidup jika aku akhirnya bergabung dengan perusahaan itu.
Meski beberapa orang bilang aku gila karena nyia2in kesempatan yang ada dan terlalu idealis -Aku terlalu idealis??? Wkwk, sepertinya aku kena karma. Seorang yang tadinya merendahkan idealism ternyata di dalam dirinya ada idealisme yang begitu kentara- setidaknya, aku merasa bahwa aku telah mengambil langkah yang benar.
Nah, begitulah..semoga semua orang yang membaca blog ini mendapat pelajaran dari kebodohanku dalam menjalani idup. Satu yang ingin kutekankan adalah, well..emang nggak ada salahnya bermain aman dan terus berusaha berada di zona nyaman, tapi saat hatimu menyangkal dan memberontak, itu juga bukanlah sebuah kesalahan.
Terakhir, di kesempatan ini aku juga mau minta maaf karena mengecewakan beberapa orang yang peduli dengan masa depanku, dan juga bapak user yang nggak sengaja ku-PHP-in Wkwk..sebagai wujud permintaan maaf ku, aku akan mencari kesempatan dengan lebih bijaksana dan memberikan hasil akhir yang terbaik
I’ll be fine, just believe in me    :D


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home