Nikah (?)



Lebaran secara otomatis memberikanku waktu lama untuk nyampah liburan di rumah, dan berada di rumah untuk 2 minggu pada lebaran kali ini merupakan sebentuk liburan yang cukup membuatku punya keinginan untuk menenggelamkan diri di tendon air karena beberapa hal besar baru saja terjadi.
Well.. hal besar apa yang terjadi di lebaran selain agenda maaf-maafan, makan secara anarkis dan ngumpulin duwit fitrah?
Jenjengjeng…Kumpul keluarga!
Definisi dari kumpul keluarga adalah berkumpulnya segerombol makhluk kepo di suatu tempat –which is jumlahnya bukan cuma satu-dua melainkan belasan, atau bahkan puluhan- yang memiliki misi yang sama yaitu membuat hidup anggota keluarga lain yang seumuranku –baca: cewek, 20++ dan masih keliatan luntang-luntung nggak bermasa depan- tidak tenang dengan cara ngejek-ngejek, ngebully dan melemparkan berbagai pertanyaan, tapi yang perlu ditegaskan disini adalah pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah pertanyaan biasa, melainkan pertanyaan tajam, setajam silet. Tsahhh
pertanyaan-mainstream-menyiksa-mental macam “kapan wisuda?”, “sudah kerja dimana sekarang?”, “mau kerja dimana?” merupakan jenis pertanyaan yang sudah biasa kuhadapi dan aku udah terhitung expert menangkis pisau berpanel retro di dalam pertanyaan itu. Namun, masih ada satu pertanyaan yang kelasnya lebih ampuh dan belum bisa kusangkal maksimal, yaitu “kapan nikah?”
Beruntunglah kondisi demografi dalam peta keluarga besarku masih menunjukkan bahwa ada dua manusia malang berusia 20++ di keluarga kami, yaitu aku dan sepupuku yang setahun lebih muda dariku. Maka aku masih merasa cukup beruntung, wkwk..apalagi sepupuku itu di mata sodara-sodaraku kondisinya lebih akut, yaitu selain dia cewe, berusia 20++,..dia udah kerja!! hahaha…maka cobaan yang dia pikul jelas lebih berat.
Yeah, merasa senasib dan sepenanggungan membuatku menjadi lebih percaya diri –sombong-. Seperti rakyat Indonesia dulu pas mau memberontak ke penjajah, mereka menjadi kuat karena mereka merasa memiliki orang lain yang menanggung penderitaan yang sama. Maka,..sejak beberapa hari sebelum lebaran, hatiku sudah teguh untuk memerangi penjajahan keluarga besarku dengan bersama-sama menyongsong hari esok bersama sepupuku.
Namun dua hari yang lalu, semangat memerangi penjajahanku runtuh seketika saat mendengar berita yang cukup jelegar dari ibuku. Ibuku yang mendapat info dari bu lik iparku dan bu lik iparku yang mendapat info dari suaminya yang merupakan adik laki-laki bapakku dan adik laki-laki bapakku itu yang mendapat info dari kakak laki-laki bapakku yang merupakan bapak dari sepupuku yang itu artinya adalah pakde ku menyampaikan bahwa “sepupumu iku sesuk ameh dilamar karo pacare”
*nyemplung.ke.tandon.aer*

Nah kemarin, ditengah rasa syokku yang masih gelantungan di kaki dan beberapa masih lengket di pundak, aku melihat arak-arakan orang tidak dikenal datang ke rumah sepupuku, sepupu seperjuanganku. Arak-arakan ini berisi sebuah keluarga besar berpakaian rapi yang datang dengan membawa oleh-oleh yang dibungkus cakep entah apa isinya. Sambil menyiapkan minuman, otakku dengan durhaka berkata pada diriku sendiri “aku sekarang sigle fighter.  Para musafir yang datang dari negeri jauh itu akan membawa sepupu seperjuanganku”
Sepupuku dilamar mennnn.
D         I           L          A         M         A         R
Baiklah disamping aku masih terpukul karena di acara-acara kumpul keluarga mendatang aku akan sendirian, yang lebih penting lagi adalah aku masih syok, setengah nggak percaya, sepupuku bakal nikah. Dengan muka absurd aku membawa nampan minuman untuk para tamu lalu sampailah tatapanku pada sesosok kisanak yang duduk di ujung sofa, yang termuda dari gerombolannya, itu dia pacar sepupuku, duduk dengan baju rapih dan kelakuan yang amat sangat dijaga.
Pokoknya waw banget. Singkat cerita…benar, keluarga itu datang untuk meminta sepupuku untuk dijadikan sebagai bagian dari keluarga mereka. Dan sesuai dengan adat kami, keluarga kami tidak langsung memberikan jawaban pada hari itu, melainkan kami akan datang ke tempat si calon.suami.pria.yang,termuda.di.dalam.kawanannya besok harinya untuk memberikan jawaban.
Lalu rasa syokku nggak berhenti disitu.
Setelah akhirnya rapat keluarga dan memutuskan siapa yang besok akan pergi ke tempat sang calon.suami.pria.yang,termuda.di.dalam.kawanannya akhirnya diputuskan hanya ayah sepupuku, ayahku dan adik tertua ayahku yang akan pergi.
Lalu, setelah pulang..bapak bercerita padaku dan ibu bahwa mereka akan dinikahkan 6 bulan lagi. Tapi bapak cukup sedih karena pas kesana, beliau kaget karena rumah dari sang calon menantu ini kecil banget, untuk duduk berempat aja sudah mepet. mana itupun bukan rumah dia, melainkan rumah dari neneknya. Jadi ceritanya..si calon menantu ini ayah dan ibunya sudah bercerai, dan dia dititipkan ayahnya untuk tinggal dengan sang nenek sedari kecil. Jadi selain rumah yang kecil, ketidak-jelasan asset yang mungkin akan diturunkan padanya pun membuat ayahku khawatir. Yeah..bukan yang berharap yang muluk-muluk atau apa, cuma ayahku bilang berkali-kali bahwa dia kasihan aja membayangkan sepupuku akan tinggal di rumah sekecil itu dan bagaimana kehidupannya kelak setelah menikah. Belum lagi pertimbangan pekerjaan si calon suami yang juga cuma pekerja pabrik sama seperti sepupuku.
Aku, sebagai pihak ketiga yang berada diluar lingkaran kewenangan untuk mengambil keputusan, sama seperti ayahku, cuma terdiam.
Ternyata masalah pernikahan sejauh itu ya. Bapak bilang bahwa sebagai orang tua, kemampuan ekonomi itu satu hal penting yang menjadi bahan pertimbangan, bukannya matre..hanya saja siapa yang rela anaknnya hidup jauh lebih sulit ketika sudah tidak dibawah tanggung-jawab mereka?
Waw, sulit.
Sepupuku mau nikah. Sepupuku yang dari kecil seperguruan denganku, temenku bikin onar, yang sewaktu TK suka kutinggal lalu nangis, yang dulu kembaran sepeda gahul roda tiga denganku, mau nikah. Mau memulai hidup biru, yang mungkin akan jauh berbeda.
Kata bapak, “nikah iku ora cukup nganggo cinta. Seng utama ana tanggung-jawab arep nguripi lahir batin, pancen ora peduli sugih opo melarat. Tapi yo sopo seng nyangkal, ekonomi ora iso diapusi”
Cinta? Satu kata yang dulu pas aku SMP-SMA, masih jadi satu topik utama seperti yang didikte oleh novel-novel teenlit. Bahwa cinta itu yang terpenting. Kalau sudah saling cinta, yasudah…lanjut aja, semua akan teratasi jika sudah saling cinta. Kebahagiaan akan datang kalau sudah saling cinta.
Tapi sekarang,..kata cinta kok malah kedengaran naif banget ya?
bagaimana keluarganya, bagaimana pendidikannya, berapa penghasilannya, seperti apa rumahnya, anak tunggal atau anak pertama. Pertanyaan-pertanyaan ini jauh lebih rasional dan dianggap layak untuk dipertanyakan pertama kali dibandingkan “kamu cinta dia apa enggak”
waw..sumpah, dari sini aku belajar,
belajar bahwa di dunia ini, nggak ada yang namanya happily ever afternya walt Disney, kalian ingat…film2 princess di Disney selalu diakhiri dengan scene pernikahan dan prolog ‘and they live happily ever and after..
ah, ajaran mereka sesat, -wkwk, kalo yang nonton uda keitung dewasa dan usia nikah sih haha-
Yang benar adalah, pernikahan itu adalah awal dari sebuah perjalanan baru. Perjalanan baru yang entah akan naik-turun-nikung ngeri seperti jalan Selo-Ketep atau selancar dan semulus jalan Tol Semarang-Ungaran. Well..yep, mungkin memang cinta turut ambil bagian, entah itu sebagai aki atau oli, tapi kalau tanpa rem dan pedal gas, bagaimana bisa sampai di tujuan?
Semoga jalan sepupuku dimudahkan
Semoga komitmen mereka berdua dikuatkan
Semoga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home