My Twentieth Birthday


Pernah denger cerita horror paling pendek sepanjang sejarah cerita horror?
Cerita horror paling pendek versiku adalah: bangun, buka mata di pagi hari, ngecek hape, lalu nyadar kalo kalender di hapemu nunjukin tanggal 16 juni. Itu      baru       cerita    horror!!!
16 juni yang harusnya menjadi hari biasa saja karena merupakan tanggal aku dilahirkan (yep, my birthday mennn) menjadi horror tahun ini karena ada seorang psycho yang menghitung datangnya tanggal ini dan selama seminggu dan tiap pagi nge WA aku : “selamat H-sekian hari ultah kita …selamat menunggu surprize ya :D
yep, ulang tahun KITA…dia kusebut sebagai psycho bukan tanpa alasan. Psycho ini memiliki tanggal kelahiran yang sama denganku dan bagian horror yang kumaksud adalah, hanya karena dia tiap tahun mendapat surprize dari pacarnya, dia mengira setiap orang yang berulang tahun mendapatkan kejutan yang serupa.
Not me of course, I don’t even have any boyfriend, tapi asal tahu saja, tahun lalu aja beberapa teman baik muncul di depan pintu kost sambil membawa berbagai benda aneh –tepung, telur busuk, kulit pisang, dan kue tart sudah bisa digolongkan kedalam kelompok benda aneh- dan itu nggak kalah sweet daripada dapet ucapan selamat dari pacar pada pukul 00.01 am atau dapet boneka yang gedenya nggak kira-kira (karena aku takut sama boneka)
Karena latar belakang kondisi yang seperti ini, seketika aku merasa dapet hadiah spesial dari Tuhan ketika sehari sebelum ulang tahunku ada temen yang ngajakin pergi pada tanggal itu. Yaiyalah spesial karena itu berarti aku nggak perlu ada di kost seharian buat ngeliat tersangka psycho yang datang pamer surprize yang dia dapat.
Setelah dengan heboh bilang iya tanpa nanya2 mau diajak kemana atau ngapain, aku berasa seperti orang bego ketika temanku itu bilang bahwa ternyata dia ngajakin aku ke acara suatu komunitas di Jogja. Nama komunitasnya adalah komunitas Jogja berkebun. Mendengar namanya, yang pertama kali kutanyakan pada temanku itu adalah “aku perlu bawa cangkul nggak?”
Haha, hari ulang tahun yang absurd sekali, bahkan temanku itu nggak tahu kalo hari itu aku ulang tahun. Yang dia tahu hanyalah ngajakin orang senemunya buat dateng ke acara yang dia sendiri bahkan nggak tahu seperti apa. Prinsipnya, “mending cengok berdua daripada bengong sendirian, roaming di tengah2 banyak orang asing”
Nah, dari sinilah hari ulang tahunku dimulai, kami berdua datang kesana. Muka polos, nggak tahu apa2. Bahkan sempat bingung nanya sini-situ nyari lokasinya dimana mengingat acara Jogja berkebun kali itu diadakan di Kota Gede, tepatnya di desa di belakang pabrik coklat monggo.
Setelah sampai, kami sempat bengong juga ngeliat anak-anak yang tergabung dalam komunitas tersebut sedang bercocok tanam bersama warga. Well…sebenernya aku sih yang lebih syok, ternyata pikiranku soal ‘cangkul’ bener. Aku memandangi diriku yang uda rapih, uda wangi, uda mandi dari pagi buta, -intinya…salah kostum banget dan jadi bahan perhatian bagi kebanyakan anggota yang cuma pake celana training dan sandal jepit swallow-
Anak-anak komunitas ini sibuk ngajarin warga yang berjumlah puluhan mengenai cara bikin mikroorganisme untuk mempercepat penguraian, lalu cara menyemai, mencangkul –cangkul men cangkullll-, menanam benih dan juga belajar verticulture (vertical agriculture, semacam gaya bertanam di lahan terbatas),
Aku dan temenku tadinya sedikit canggung juga karena dari puluhan anak komunitas, temenku itu cuma kenal satu orang saja. Dengan bermodal nekat, -baca: menyalami anggota komunitas satu persatu kayak pas lebaran dan mengenalkan diri kami dengan percaya diri yang kelewat tinggi plus gaya salah kostum yang nyolok mata-, akhirnya kami ikut bergabung juga dengan kegiatan mereka.
Dan begitulah, di hari ulang tahunku, aku seharian ngaduk-aduk tanah, duduk ngesot di atas sepatuku sebagai alas, bikin pot tanaman, bercandaan sama anak warga, ketawa-ketawa sama lelucon bapak-bapak ceria, ngobrol asik sama anggota komunitas dan mantengin tanaman bernama kangkung yang ternyata bisa tumbuh di darat juga –nista sekali selama 22 tahun ini kukira kangkung cuma tumbuh di air-
Bicara soal komunitas Jogjaberkebun, komunitas ini merupakan bagian dari komunitas besar Indonesiaberkebun. Komunitas ini bergerak melalui jejaring sosial dengan misi untuk menyebarkan semangat positif untuk peduli pada lingkungan kota. Strategi yang mereka gunakan adalah dengan menggunakan prinsip urban farming, yaitu dengan memanfaatkan lahan2 tidur di perkotaan menjadi lahan pertanian/perkebunan produktif dengan mengajak masyarakat untuk turut serta dalam pengolahan dan pengelolaannya.
Yeah, urban farming, salah satu isu perkotaan yang muncul akibat terjadinya konversi besar2an yang dilakukan pada lahan pertanian untuk menjadi lahan terbangun mengingat padatnya penduduk di perkotaan selalu menuntut adanya lahan untuk bermukim dan melakukan aktivitas ekonomi. Komunitas ini hampir serupa dengan gardening guerilla -pernah kubahas pada post sebelumnya- namun disini Jogjaberkebun dapat dibilang lebih halus, karena tidak secara illegal menggunakan lahan kosong yang ada, melainkan dengan memanfaatkan lahan tidur yang diperbolehkan oleh warga untuk ditanami, dan bahkan..komunitas ini mengajak serta warga sekitar untuk tahu seberapa asyiknya bercocok tanam.
Well..jujur, aku nggak nyangka sama sekali mendapat kesempatan untuk join dengan sebuah komunitas pro lingkungan seperti ini. ya oke aku mengakui bahwa komunitas seperti ini adalah suatu hal yang keren karena dapat berdiri berkat kumpulan orang yang menyadari bahwa diperlukan sebuah perubahan untuk perkotaan agar lebih nyaman ditinggali, yep.. orang2 yang berani mengawali perubahan. Hanya saja saat pertama kali nyampe di lokasi dan ngeliat petak tanah yang nggak seberapa (mungkin sekitar 6x8 meter), berkali2 aku membatin dalam hati “ini seriusan ngaruh gitu?” I mean, yaelah mennn, menanam bawang atau kangkung atau pare di lahan sesempit itu apa ngaruhnya sama polusi perkotaan? apa efeknya sama pembangunan besar2an?. Itulah alasan kenapa aku nggak suka bergabung dengan komunitas, kegiatan komunitas pro lingkungan itu kalo dianalogikan seperti memungut sampah secara manual di tengah sungai Ciliwung. Keliatannya udah usaha mati2an, tapi tetep aja, nggak ada efek signifikan yang ditimbulkan.
Tapi, setelah ngesot disana ngajarin anak kecil cara menghias pot sambil sesekali membiarkannya membullyku karena aku nggak tahu cara bikin pot yang bagus, aku jadi paham bahwa dengan kegiatan seperti ini, anak-anak ini jadi tahu bagaimana pupuk bisa bikin tanaman cepet tumbuh, bahkan tanpa diberitahu, dengan sendirinya mereka mengerti fungsinya air yang ditaruh di bawah pot, mereka mengerti kenapa bawang lebih dipilih untuk ditanam dibandingkan tanaman lainnya karena isu harga bawang yang menggila akhir2 ini. mereka seriusan tahu mennnn.
Dan lagi, ketika aku sibuk ngaduk pupuk dengan tanah, seringkali aku nggak bisa nahan ketawa karena bercandaan bapak-bapak warga yang saling sambung menyambung, saling ejek mengejek, ibu-ibu juga nggak ketinggalan. Kapan lagi coba mencangkul tanah bareng2 sambil bercandaan satu kampung?
Akhirnya aku mengerti. Ketika ngeliat muka warga yang sama sekali nggak nunjukin ekspresi terpaksa -bahkan dari yang kulihat mereka malah enjoy banget- aku melihat bahwa potensi itu ada, potensi untuk maju. Walopun sedikit, walopun hanya dimulai dari tanah 6x8 meter, walopun nggak serta merta mengurangi polusi atau secara menggembirakan membuat ibu-ibu nggak perlu pergi ke warung buat beli sayuran lagi, tapi setidaknya komunitas ini mengajari warga untuk peduli. Kekuatannya ada di warga itu sendiri, jadi komunitas hanya berfungsi sebagai penggerak, bukan sebagai pelaku total.
Itu dia kelemahan dari gardening guerilla yang pernah kubahas. Meski keren, meski anak muda banget dengan tambahan aksi sembunyi2 kayak di film2, komunitas ini cukup sulit untuk menancapkan cakarnya karena kesan yang mereka berikan adalah kesan ‘ilegal’ dan pendekatan langsung kepada masyarakat bukan menjadi prioritas.
Yasudahlah…aku juga akhirnya menerima bahwa nggak semua tindakan bisa langsung memberikan pengaruh yang besar. Nggak apa-apa dimulai dari tindakan dengan dampak yang kecil, nggak apa-apa dimulai dari 6x8 meter, tapi setidaknya itu dimulai, setidaknya mereka mengedukasi 5 atau 10 biji anak2 yang nantinya menjadi generasi baru yang lebih peduli. Daripada sampai nanti2 nggak ada yang memulai.
Sebuah beringin kokoh juga dimulai dari benih yang kecil kan?
Oh iya, hampir lupa…aku mau bilang makasih untuk Tuhan atas semua hadiah spesial ini, dan makasih juga di sore tadi Engkau mengirimkan beberapa teman dengan surprise yang normal, tanpa benda aneh seperti kombinasi telor dan kulit pisang :p

Love ya guys

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home