Rise Of The Planet Of The Apes


Mendadak sok2an ngomongin film yang satu ini jelas kelihatan banget kalau aku baru aja nonton nih film untuk yang pertama kali. Hehe, 2013 nonton rise.of.the.planet.of.the.apes??? (ah, kepanjangan..dari sini, mulai disingkat aja jadi ROTPOTA), yasudahlah..tingkat evolusi manusia memang berbeda-beda, nggak perlu memaki atau menghujat. Anggap saja aku baru keluar dari gua setelah puluhan tahun pingsan di dalamnya.
Sebenernya film dengan judul yang beginian merupakan film yang menempati ranking kedua dari hierarkhi film yang paling tidak ingin kutonton sepanjang hidupku –FYI, ranking pertama adalah film dengan judul ‘kuntilanak goyang itik belajar ngesot’ atau sejenisnya- maksudku adalah…planet? apes? Secara otomatis maka yang akan kebayang pertama kali di kepala adalah ada segerombolan simpanse mukul-mukulin dada masing-masing, dengan gaya keren gitu diatas bukit atau entahlah, dengan background bulan purnama. Mennnn…waw.
Nah, tapi karena disini niatnya bukan untuk curhat maupun nyepam, maka mari dilanjut saja,
cerita ROTPOTA berawal dari adanya penelitian di bidang sains untuk mengembangkan sebuah obat mutahir yang dapat meningkatkan kecerdasan otak dan juga mengobati penyakit mematikan. Untuk menguji hasil percobaan yang dilakukan, maka produk pengembangan sains yang dibuat ini diuji-cobakan pada simpanse. Yeah, tau lah kenapa para peneliti ini milih pake simpanse dibanding dengan menggunakan manusia sebagai bahan percobaan..yep, because they are humans!!!
Singkat cerita, sesuai dengan dugaan, obat ini ternyata benar dapat meningkatkan kemampuan dan kecerdasan simpanse secara pesat. Caesar, salah satu keturunan langsung dari simpanse yang menjadi bahan percobaan dalam penelitian ini menunjukkan tingkat intelegensi yang sangat tinggi, bahkan bisa dibilang tingkat cara pikirnya menyerupai cara pikir manusia. Selain melihat perkembangan pada Caesar, percobaan ini semakin dianggap mendekati sempurna ketika sang aktor utama yang tak lain adalah pencetus penelitian ini, nekat menyuntikkan ‘zat ajaib’ ini kepada ayahnya yang sakit parah dan dalam waktu singkat melihat kesembuhan yang luar biasa cepat terjadi pada sang ayah. Dari sinilah asumsi bahwa obat yang mereka kembangkan sudah sempurna menjadi semakin kuat sehingga mulai dilakukan produksi secara besar-besaran.
So, what’s the point? Disini sebenernya aku tidak sedang melakukan review film ROTPOTA, yang ingin kubahas lebih pada sudut pandang yang timbul dalam konflik film tersebut. Konflik dalam film ini mulai muncul ketika Caesar yang pintar mengetahui fakta bahwa kaumnya, yaitu kaum simpanse tidak diperlakukan dengan layak. Manusia, demi keuntungannya semata dengan mudah mengorbankan nyawa dari makhluk hidup lainnya. Pada akhirnya, dengan kecerdasan yang dimiliki, Caesar memimpin kaumnya untuk melakukan pemberontakan besar-besaran dan mencoba memulai era baru dimana tidak ada lagi manusia yang dapat menginjak-injak dan memperlakukan kaumnya dengan tidak layak.
Oke, kita balik lagi ke main course nya. tadi sudah aku jelaskan bagaimana konflik yang terjadi pada film ini, konflik yang dianggap sebagai bencana oleh kaum manusia karena banyaknya kerusakan yang ditimbulkan pasca revolusi kaum simpanse ini. Dari sini, aku jadi teringat dengan perkataan dosenku pada suatu hari ketika beliau sedang mengajar mata kuliah permasalahan pembangunan. Beliau pernah bertanya “kenapa gempa bumi itu digolongkan sebagai bencana? Kenapa banjir dan tanah longsor digolongkan sebagai bencana?” dan hening, tidak ada jawaban. Untuk memancing jawaban, akhirnya beliau mengeluarkan selembar 10 ribuan dari kantongnya dan bilang uang itu akan diberikan kepada yang bisa menjawab. Namun, beberapa saat berlalu dan tetap tidak ada yang menjawab, entah karena enggan, atau memang karena tidak tahu.
Aku, yang seperti biasa duduk di deretan paling belakang, menyeletuk dalam hati dan berkata pada diri sendiri, “ya kalo yang namanya gempa efeknya cuma bikin populasi ayam pingsan untuk beberapa jam atau apalah asal nggak ngasi efek negatif buat manusia, maka gempa nggak akan pernah digolongkan sebagai bencana” yep, seperti yang kubilang, aku hanya menyeletuk dalam hati karena saat itu aku masih merasa cukup waras dan jawabanku bakal diketawain satu kelas.
Dan ternyata, jawabanku ada benarnya juga. Setelah tidak sabar menunggu jawaban, akhirnya bapak dosenku tersebut memberikan jawabannya, jawaban yang kalo dinalar nggak jauh beda dengan jawabanku “bencana itu sebuah kata yang relatif, dalam definisi manusia, bencana adalah segala kejadian yang menimbulkan ancaman maupun kerugian bagi manusia itu sendiri, jadi seperti yang saya katakan, bencana disini lebih tepatnya disebut sebagai bencana manusia”
This is the point!!
Dari pelajaran ini, dapat kita lihat bahwa sudut pandang manusia masih lah menjadi patokan dalam menyikapi suatu fenomena. Meskipun isu pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mengedepankan keseimbangan 3 pilar utama yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan digembar-gemborkan dengan lantang dan mulai menjadi tren di tengah perkembangan berbagai sektor, tetapi tetap saja antroposentrisme itu masih ada dan tidak dapat tertutupi secara sempurna.
Banyak perusahaan yang muncul dengan mengusung brand eco-green, eco-friendly, ramah lingkungan, berwawasan lingkungan, berkelanjutan blablabla namun tidak cukup memiliki bukti nyata bahwa mereka benar-benar menempatkan lingkungan sebagai aspek yang setara dengan ekonomi. Beberapa waktu yang lalu, sempat denger cerita temen yang lagi ada penelitian tentang suatu kawasan industri di Jawa Barat yang mengaku bahwa mereka adalah industri berwawasan lingkungan. Mereka berani bilang bahwa industri mereka berwawasan lingkungan karena telah memiliki teknologi pengolahan limbah yang selama ini jadi persoalan. Namun yang miris adalah, setelah diselidiki lebih lanjut ternyata semua alat canggih yang mereka banggakan cuma teronggok tak terpakai dengan alasan belum mampu memberikan profit yang setara dengan biaya operasional yang dikeluarkan. Wtf menn
Lalu ada pula yang mencoba melabeli diri sebagai perusahaan yang ‘peduli’ dengan merambah aspek sosial, misalnya dengan memberikan CSR yang nggak abal-abal dan dari segi anggaran bisa dikatakan cukup besar. Okelah fine kita semua sepakat bahwa aspek sosial juga penting, dan nggak bisa dengan sembarangan kita bilang cuma sebagai ‘kedok’ untuk meningkatkan citra perusahaan. Namun -bukannya berburuk sangka- bisa saja aspek sosial diangkat karena aspek sosial sangat rentan mengingat urusannya berkaitan dengan manusia secara langsung, cukup dengan CSR berupa beasiswa, pemberdayaan, pembangunan infrastruktur, maka manusia akan dapat dibungkam karena tuntutan mereka terpenuhi.
Sedangkan bagaimana jika menyangkut dengan lingkungan? Siapa yang akan menuntut? Sungai nggak bisa demo sendiri minta biar nggak dijadiin tempat pembuangan limbah lagi, hutan nggak akan bisa menggugat ketika jutaan pohonnya dibabat. Sama halnya dengan kaum simpanse dalam film ini, sebelumnya tidak ada yang benar-benar memperjuangkan hak mereka sebagai makhluk hidup, sehingga ketika kesempatan itu ada, mereka langsung melakukan pemberontakan besar-besaran. Itulah yang disebut bencana manusia, kecenderungan Caesar dan kaumnya memiliki kecenderungan yang sama dengan cara alam merespon perlakuan manusia kepada mereka, melalui banjir, longsor, dan lain sebagainya. Alam memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan bahwa mereka juga menuntut adanya kesetaraan.
Lalu dari sini, rasanya kita perlu menilik kembali hakekat dari keberlanjutan yang dielu-elukan, jelas sekali disebutkan bahwa pilar yang perlu disejajarkan ada 3, itupun harus diperlakukan secara seimbang, tidak bisa hanya terfokus pada satu atau dua aspek saja. Itulah kenapa keberlanjutan dilambangkan dengan segitiga equity.
Kembali ke pertanyaanku tadi, “lalu, siapa yang harusnya menuntut hak lingkungan?”
Bagi yang sadar, jawabannya sih sebenernya udah jelas banget. Tugas manusia seperti yang telah dijelaskan dalam kitab suci adalah sebagai khalifah (pemimpin) bumi. Dan layaknya pemimpin, kita harusnya berada di garis terdepan memperjuangkan hak-hak dari yang dipimpin. Iya sih memang biasanya perjuangan lingkungan sedikit susah mengingat resiko ekonomi yang pastinya akan terkorbankan. Tapi apalah artinya sedikit resiko kerugian ekonomi ketika menyetarakan lingkungan jika dibandingkan dengan kerugian nyata ketika bencana telah melanda. Itu bisa loh ampe ribuan kali kerugiannya. Misalnya saja lumpur lapindo Sidoarjo, berapa triliun coba kerugian yang ditimbulkan, Padahal itu baru amukan satu bencana saja, coba aja kalo ditambah letusan gunung api atau mendadak badai Katrina khusus datang dari benua Amerika buat ikutan nimbrung, atau misalnya di Sidoarjo kebetulan ada reaktor nuklir kayak di Fukushima, bisa seketika bubar itu pulau Jawa.
Nah begitulah, tau ya berarti apa kesimpulannya?
Gambar ini aku temukan di ninegag. What a sad joke!
Well..jangan sampai alam memposisikan manusia seperti manusia memposisikan kuman
Ini cuma masalah sudut pandang brooo…


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home