The Hunger Games: Mockingjay Part 2

 
Well well well,
Akhirnya part terakhir dari seri favorit gue, The Hunger Games, keluar juga. Gue yang tahun lalu dibikin geregetan sampai-sampai ingin menggigit penonton di belakang gue yang berisiknya sudah kayak lagi main gaplek di pos ronda, pada akhirnya bisa move on dari memaki2 part 1 yang kerasa dipanjang2in dan menyucikan hati untuk menonton Mockingjay Part 2 ini *btw, cara ngasih imbuhan pada kata dasar ‘suci’ gimana sih?*
As a fan –tolong jangan ngebayangin kipas angin- saat detik-detik awal film diputar dan melihat muka Katniss nongol dengan mode zoom in maksimal di layar dan suara serak yang ngebikin gue berpikir ‘anjir.horror.banget.ini.gue.salah.masuk.studio.apa.begimana’ gue mendadak merasa khawatir bahwa gue akan kecewa dengan seri finale ini. Alasannya? lol I have no idea. A woman doesn’t need any logical reason to be unreasonable, though. *kemudian nama gue distabilo sama semua feminist di akhirat lol*

Thank God firasat gue salah.
Di Mockingjay Part 2 ini, tentunya semua orang sudah bisa menebak bahwa perseteruan antara Katniss dan Presiden Snow semakin mengerucut dan akan sampai pada suatu titik akhir. Setelah Katniss menyadari bahwa Peeta disiksa secara fisik maupun mental dan dimanipulasi dengan sangat keji, akhirnya Katniss memutuskan bahwa Presiden Snow adalah akar dari semua hal buruk yang terjadi therefore dia harus mati. Dari titik awal sampai akhir, as simple as it sounds, inti plot yang berjalan adalah sesederhana ‘bagaimana Katniss mencoba membunuh Snow’. Akan tetapi ditengah usahanya untuk mengeksekusi Snow, banyak permasalahan lain yang bermunculan dan menguji ketegaran Katniss. Dalam hal ini thanks to Suzanne Collins karena telah sukses mengarang cerita dengan banyak layer yang menyoroti berbagai fokus berbeda dan terima kasih juga untuk Franciss Lawrence yang bisa menuangkan ide tersebut ke dalam filmnya. Berkat ide cerita yang cukup berisi dan penggambaran yang tepat,  kita bukan cuma diarahkan untuk menitik-beratkan pada eksekusi dari main evil character kita; Presiden Snow. Bukan hanya dipenuhi perasaan benci pada Presiden Snow yang menggemaskan, gue -sebagai penonton yang tidak mengikuti bukunya- turut diajak untuk memahami betapa ngilunya efek sebuah peperangan dan betapa abu-abunya politik serta kekuasan. Ada yang bilang bahwa: "In a war, nobody wins, even the winner." Dan film ini berhasil menguraikan makna dari kalimat tersebut.  

Wait,... gajadi perang seru nih ceritanya?
well, jangan khawatir. Meskipun gue bilang bahwa fokus Mockingjay Part 2 bukan hanya pada sisi pertempuran, bukan berarti pengadeganan peperangan di sini dikesampingkan. Bagi mereka yang merindukan vibe dari aksi menegangkan khas arena hunger games pada Catching Fire, gue jamin mereka akan terpuaskan melihat betapa ‘megahnya’ battle field di film Mockingjay Part 2 ini. Dengan tempo yang cepat dan ‘ledakan’ adegan yang bertubi-tubi, gue sendiri bahkan ragu elu akan sempet untuk mikirin jemuran yang belom diangkat tadi pagi.
Afterall, Franciss Lawrence tampaknya memang tidak ingin menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada untuk menjadikan tiap scene di film ini fenomenal dan membuat penonton terus terpana. Bukan hanya adegan pertempuran yang menggelegar, adegan-adegan non battle pun disusun sedemikian rupa hingga mampu mengimbangi sisi aksinya yang terhitung intens. Dan nggak lupa, masih ada pula beberapa joke yang diselipkan agar penontonnya –gue, misalnya- tidak lupa kalau gue masih punya urat tersenyum.
Dari segi pemain, oh well Jennifer Lawrence was effortlessly awesome in that huge frame. Sebagai pilar yang mengampu keseluruhan cerita, kekonsistenan JeLaw menjadi kunci utama dalam keberhasilan penyampaian gagasan yang ingin disampaikan oleh rangkaian saga The Hunger Games. Dan tak lupa deretan actor/aktris lainnya seperti Jena Malone, Woody Harrelson dan bahkan Donald Sutherland juga semakin mempersolid –ini kosa kata yang aneh- rangkaian ceritanya.

Yep, begitulah…
Dari review asal-asalan ini pasti kalian sudah bisa menangkap bahwa gue menyukai Mockingjay Part 2 ini. and yep again, you are not wrong. Akan tetapi gue tetep tidak bisa memungkiri bahwa gue merasa porsi untuk adegan aksinya kelewat banyak dan ide ceritanya relatif ‘sederhana’ sebagai konsekuensi dari dipecahnya buku ketiga menjadi 2 film. Tapi yasudala yaaa, mari lihat sisi positifnya..dengan dipecah menjadi 2, seenggaknya penggambaran emosional dari tokoh2nya jadi lebih dalem dan durasinya tidak terjajah oleh pertempuran akbar yang memang sudah ditunggu-tunggu. 

Komentar

  1. Aku pengen komentar:
    Pertama, imbuhan men-suci-kan menjadi menyucikan udah bener.
    Kedua, kayake kowe cocok dadi penulis review film atau buku atau apalah...asik dibaca, menggelikan sampe2 aku pengen menggelitiki dirimu...
    Ketiga, karena aku dah komen banyak, sepertinya pantas untuk jadi kandidat diajak nonton bareng The Hunger Games: Mockingjay Part 2 awal Desember nanti deh, hahaa
    Salam hangat dariku J :p

    BalasHapus
  2. Hai beng, lol thanks for the praise. Iya, kowe kudu nonton (gutlak on nyari bioskop di Boyolali, kepenthoke nemu layar tancep pfttt)

    BalasHapus

Posting Komentar

Find de lesson already?
I hope so.
thanks for the comment anyway :D

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home