The Hunger Games



Here we go again.
Seperti layaknya seorang pecandu yang baru saja ‘getting high’ sehabis nonton film yang membuatnya terpana berkali-kali, Gue, duduk disini, mencoba mengurai ‘perasaan aneh’ ini dengan bleky tercinta ditemani Adele yang terus menyanyikan lovesong berulang-ulang, tanpa jeda.
Ingin sekali rasanya mengatakan apa yang membuat gue jatuh cinta pada film ini namun sayangnya gue sendiri tidak tahu alasannya.
Pada saat pertama kali menonton The Hunger Games, gue belum bisa sepakat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa film ini adalah film yang keren, mengesankan dan berbagai pujian dramatis lainnya.
Entah 4 atau 5 kali, gue terus mantengin film ini namun sayangnya sekali lagi gue bilang, gue masih nggak ngerti kenapa. well…let’s reveal the mystery then.
The Hunger Games menceritakan tentang sebuah negara (mereka menyebutnya panem) yang terbentuk di masa depan –wilayahnya bekas Amerika Utara kalo nggak salah-. Panem ini terdiri dari 12 distrik dengan distrik satu sebagai pusatnya (diistilahkan sebagai capitol). Terbentuk secara utuh sejak berhasil dilumpuhkannya para pemberontak menjadikan Panem memiliki cara unik untuk mengenang kemerdekaan mereka setiap tahunnya. Cara unik ini adalah dengan mengadakan game yang pesertanya adalah sepasang laki-laki dan perempuan (disebut sebagai tribute) sebagai perwakilan dari masing-masing distrik. Gue sebut unik karena untuk menang dalam game ini, setiap tribute harus saling bunuh agar tetap survive. yeah, yang tetap hidup adalah yang menang.
Tersebutlah seorang gadis bernama Katniss Everdeen, dia adalah gadis tidak beruntung yang harus mewakili distriknya untuk mengikuti game ini. Katniss mengajukan diri sebagai pengganti adik perempuannya yang terpilih secara malang bersama seorang laki-laki bernama Peeta Mellark. Heroik sekali kan? mengorbankan diri demi adik tersayangnya?
Sayang gue nggak begitu menganggap tindakan Katniss ini sebagai sesuatu yang mulia. Sejak awal, gue melihat bahwa tokoh utama kita ini tidak sepenuhnya tokoh utama apabila dibandingkan dengan film2 yang pernah gue tonton sebelumnya, seumur hidup gue. Tokoh utama yang bener2 tokoh utama dalam persepsi gue merupakan seseorang yang punya karakter jelas, kebaca aja gitu. Entah dia itu emang awalnya baik banget dan sampai akhir dia akan terus baik, atau malah di awal dia adalah orang jahat namun seiring jalannya cerita dia ini bakal nemu jalannya dan akhirnya berubah menjadi baik. Intinya sama…pada akhirnya mereka akan menjadi seseorang yang layak dikenang karena kebaikannya.
Nah lalu apa yang salah dengan Katniss ini?
Gue nggak bisa secara jelas menjustifikasi karakter Katniss ke dalam dua kategori tersebut, baik atau jahat. Satu2nya kejelasan yang tersirat dari perilaku Katniss adalah adanya sebuah karakter yang keras. She do whatever she wants. Bahkan terlalu keras untuk ukuran seorang gadis berusia 18 tahun. Namun, latar belakang bentukan karakter ini terjelaskan dengan baik pada film pertama ini. Keberadaannya sebagai pelindung sang adik dan ibu tanpa adanya figure seorang ayah serta kehidupan keras yang harus dijalani menjadikan karakter ini dapat diterima logika dengan sendirinya.
Nah, disinilah tepatnya kekaburan karakter Katniss terlihat. Katniss bersikap seolah2 hanya ada 3 orang dalam hidupnya, yaitu ibu, adik dan teman baiknya, Gale. Garis pembatas ini menjadi ‘visible’ ketika Katniss harus berhubungan dengan orang-orang lain di luar kehidupannya. Ketika Katniss harus melihat dunia di luar sana yang penuh dengan ketidak berdayaan dan juga membutuhkan kepedulian dari sosok yang tangguh dan berani memberikan harapan di tengah keputus-asaan.
Meskipun kalo boleh gue bilang, klimaks dalam film ini tidak begitu klimaks dan terkesan memiliki tempo yang rada lambat -mengalir gitu aja-, namun daya tarik yang sebenernya ada pada alur itu sendiri. Pembangunan karakter Katniss pada momen2 disaat dia bertemu dengan orang-orang baru tersusun secara rapi. Watak2 yang tadinya tidak terlihat mulai bermunculan ke permukaan. Watak ini satu demi satu tersirat dari caranya melindungi tribute muda bernama Rue yang telah menolongnya, atau pada perubahan sikapnya pada Peeta *satu2nya teman dari distriknya* dari yang tadinya tampak tidak peduli hingga berubah menjadi hasrat ingin melindungi, atau keputusannya untuk melarikan diri dari games karena mengira Peeta memilih  membantu tribute lain untuk membunuhnya.
Karakter Katniss kaya dengan watak-watak yang kadang tidak sejalan namun terasa begitu lumrah dan sekali lagi..dengan baiknya dapat diterima logika. Jadi sebenarnya disinilah kekuatan dari film The Hunger Games ini. Kekuatan yang terletak pada pembangunan satu karakter kuat yang menonjol dengan sendirinya dengan dipancing melalui peristiwa yang besar namun tidak tampak dipaksakan.
The Hunger games merupakan film yang berpotensi untuk menjadi film besar. Iya, gue sebut ‘berpotensi’ karena film ini seperti tadi gue bilang –harusnya- baru permulaan dari sesuatu yang  jauh lebih besar. Film ini berperan penting dalam mengenalkan kita pada karakter Katniss dan tokoh-tokoh lainnya serta bagaimana sudut pandang mereka.
Dari kesimpulan yang sudah gue rentangkan, akhirnya gue sampai pada kesimpulan akhir bahwa The Hunger Games adalah sebentuk film yang berhasil menyajikan panggung untuk sebuah cerita. Dimulai dari latar belakang masalah, setting, plot permulaan dan juga para tokoh yang akan memainkan peran tersampaikan dengan baik dan berhasil menjanjikan sebuah  kisah besar pada film selanjutnya, Catching Fire.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moving Out

Jakartan, Mall, and Things in between

Home